News
Polhum

Jika Rudal Hipersonik Mengarah ke Indonesia, Kita Bisa Apa?

Suatu malam di masa depan yang mungkin terlalu dekat, radar militer Indonesia menangkap pergerakan tak biasa di langit utara. Bukan pesawat, bukan burung besi komersial. Itu rudal hipersonik—melaju lima kali kecepatan suara, melintasi batas negara dalam hitungan menit, dan dalam diam membawa pesan paling mematikan: kehancuran.

Kita mungkin ingin percaya bahwa skenario seperti itu hanya milik film perang atau berita dari Timur Tengah. Tapi dunia pasca-Ukraina, pasca-Israel-Iran, telah berubah. Rudal dan drone bukan lagi milik segelintir negara besar. Mereka menjadi senjata geopolitik yang disebarkan dalam strategi asimetris, sebagai alat intimidasi, atau bahkan sebagai pembuka perang.

Dan pertanyaannya kini: Jika rudal itu benar-benar datang ke langit Indonesia, apakah kita bisa bertahan?

Peperangan modern tidak dimulai dengan derap tank atau invasi darat. Ia dimulai dari langit. Iran meluncurkan lebih dari 300 drone dan rudal ke arah Israel, dan sebagian besar berhasil dihalau oleh sistem pertahanan udara berlapis: Iron Dome untuk roket, David’s Sling untuk rudal jelajah, dan Arrow untuk rudal balistik jarak jauh.

Kecepatan, akurasi, dan keterpaduan sistem itu membuat dunia terkesima—sekaligus menyadari: hanya negara dengan multi-layered air defence system yang bisa bertahan hidup dalam perang hari ini.

Bandingkan dengan Indonesia. Kita punya NASAMS buatan Norwegia, RBS-70 dari Swedia, dan Rapier dari Inggris. Tapi jumlahnya terbatas. Jangkauannya terbatas. Cakupan wilayahnya hanya melindungi titik-titik tertentu—bukan kota, apalagi negara.

"Indonesia saat ini tidak memiliki sistem pertahanan udara terintegrasi yang bisa melindungi ibu kota secara menyeluruh, apalagi wilayah seperti Natuna, Papua, atau Kalimantan," ujar seorang analis pertahanan udara yang enggan disebut namanya. "Jika ada serangan drone dalam jumlah besar, kita akan kewalahan."

Rudal Hipersonik: Ancaman yang Nyaris Mustahil Dihadang

Jika rudal hipersonik ditembakkan ke Jakarta, waktu reaksi kita hanya sekitar 5–7 menit. Itu bukan waktu cukup untuk menggelar pasukan, bukan cukup untuk evakuasi warga sipil, bahkan belum tentu cukup untuk mengaktifkan sistem darurat secara menyeluruh.

Rudal hipersonik melaju di atas Mach 5, artinya bisa menempuh ribuan kilometer dalam hitungan menit. Mereka tidak datang dengan sirene peringatan panjang atau ancang-ancang; mereka datang dalam keheningan, menembus atmosfer, dan meledak sebelum kita sempat mengangkat kepala.

Dalam kondisi saat ini, Indonesia belum memiliki radar berkemampuan deteksi hipersonik. Mayoritas radar militer kita masih berorientasi pada deteksi pesawat atau rudal konvensional, dengan jangkauan terbatas dan latensi data yang tinggi.

Rudal hipersonik bukan hanya cepat, tetapi juga mampu bermanuver, membuat lintasannya tak terduga. Ini menuntut sistem radar yang bukan hanya kuat, tapi juga cerdas—yang mampu tracking dan predictive targeting secara real time. Indonesia, sayangnya, belum punya.

Kita juga belum memiliki sistem penangkal balistik jarak jauh seperti S-400, THAAD, atau Arrow. Beberapa sistem yang kita miliki saat ini—seperti NASAMS—hanya efektif untuk ancaman medium-altitude dan subsonik, bukan ancaman hipersonik yang meluncur seperti meteor dari luar atmosfer.

Bahkan negara-negara dengan anggaran militer besar pun masih bergulat dengan efektivitas sistem penangkis hipersonik. Tanpa teknologi itu, wilayah vital seperti Jakarta, Surabaya, atau Pulau Natuna bisa menjadi sasaran empuk dalam konflik terbuka.

Yang lebih mengkhawatirkan: kita belum memiliki komando pertahanan udara terpadu yang bisa merespons dalam hitungan detik. Respons terhadap ancaman udara membutuhkan chain of command yang ringkas, jaringan komunikasi tanpa gangguan, dan sistem pengambilan keputusan yang didukung AI dan algoritma prediktif.

Saat ini, kewenangan masih tersebar: radar ada di satuan TNI AU, komando di tempat lain, komunikasi sipil-militer belum sepenuhnya harmonis. Jika rudal itu datang, barangkali kita akan lebih dulu kebingungan: siapa yang harus menekan tombol?

Situasi ini ibarat kita sedang berjalan di jalan raya sibuk dengan mata tertutup. Bahaya bisa datang kapan saja, dari arah mana saja, dan kita bahkan belum sempat membuka kelopak mata untuk melihatnya.

Rudal hipersonik bukan sekadar ancaman militer, tapi ujian eksistensial: apakah negara mampu melindungi warganya di era ketika kecepatan serangan melebihi kecepatan berpikir?

Membangun Pertahanan Udara: Bukan Sekadar Beli Rudal

Membangun sistem pertahanan udara bukan sekadar soal shopping list rudal dari luar negeri. Ini bukan urusan memilih antara S-400 buatan Rusia atau Patriot milik Amerika. Lebih dari itu, pertahanan udara adalah arsitektur keamanan nasional yang menuntut integrasi antara militer, sipil, teknologi, dan kesadaran publik.

Yang pertama dan paling mendasar adalah infrastruktur radar dan sensor. Tanpa mata yang tajam di langit, rudal secanggih apapun hanya akan jadi besi tua. Radar bukan hanya soal mendeteksi benda asing, tapi soal real-time data fusion, kemampuan memetakan ancaman dari berbagai arah dan ketinggian, serta integrasi dengan sistem satelit dan intelijen siber.

Ini berarti Indonesia harus berinvestasi pada radar jarak jauh (long-range surveillance radar), sistem peringatan dini berbasis udara, serta jaringan over-the-horizon radar yang mampu mendeteksi rudal hipersonik.

Kedua, kita butuh pusat komando dan kontrol (command and control center) yang bekerja dalam hitungan detik, bukan menit. Di banyak negara maju, komando pertahanan udara terhubung langsung dengan pemantauan cuaca, data intelijen, lalu lintas udara sipil, hingga sistem komunikasi darurat.

Di Indonesia, sinergi ini belum berjalan optimal. Masih ada ego sektoral antara instansi sipil dan militer, serta keterbatasan infrastruktur data yang membuat respons sering terlambat.

Ketiga, dan yang kerap dilupakan: edukasi dan keterlibatan publik. Serangan udara modern bukan hanya urusan militer. Serangan drone bisa menyasar fasilitas listrik, kilang minyak, pelabuhan, bahkan pusat data.

Maka, masyarakat—terutama di kota-kota strategis—perlu dilibatkan dalam sistem kesiapsiagaan: dari pelatihan evakuasi, kewaspadaan sipil terhadap ancaman udara, hingga literasi pertahanan.

Seperti halnya Israel memiliki protokol sipil ketika sirene rudal berbunyi, Indonesia pun harus membangun budaya kesiapsiagaan nasional, agar warga tahu bagaimana bertindak saat langit berubah menjadi medan perang.

Lebih jauh, ekosistem pertahanan udara juga mencakup industri dalam negeri. Ketergantungan penuh pada produk impor menjadikan kita rentan secara geopolitik.

Indonesia harus mulai mengembangkan teknologi radar sendiri, sistem komunikasi militer terenkripsi, bahkan platform anti-drone lokal. Kemitraan strategis dengan perguruan tinggi, BUMN pertahanan seperti PT Len, PT Pindad, dan startup teknologi harus didorong untuk menciptakan solusi yang sesuai dengan geografi dan kebutuhan Indonesia.


>> Baca Selanjutnya