
Akhirnya, membangun sistem pertahanan udara adalah kerja panjang lintas generasi. Ini bukan proyek lima tahun atau sekadar janji kampanye. Dibutuhkan visi negara yang menjadikan perlindungan langit Indonesia sebagai amanat konstitusi, bukan sekadar opsi strategis. Sebab ketika langit tidak aman, maka bumi di bawahnya pun kehilangan harapan.
Pertahanan Adalah Wujud Cinta Tanah Air
Masalahnya bukan pada pilihan membeli atau tidak membeli sistem canggih, tapi pada kesadaran politik bahwa pertahanan udara bukan pelengkap, melainkan kebutuhan mendasar negara kepulauan sebesar Indonesia.
Kita punya wilayah laut dan udara yang luas, dengan ratusan titik vital: pelabuhan, PLTN, bandara, istana negara, kilang minyak, dan pangkalan militer. Jika satu saja dari itu lumpuh, efeknya bisa sistemik.
"Negara tanpa pertahanan udara seperti rumah tanpa atap di tengah badai," kata seorang marsekal senior.
Kita bisa terus membanggakan diplomasi bebas-aktif, membangun konektivitas maritim, dan bermimpi menjadi poros maritim dunia. Tapi semua itu bisa hilang dalam satu serangan udara jika langit Indonesia tidak dilindungi.
Pertahanan udara adalah hak hidup rakyat. Dan membangunnya bukan sekadar anggaran militer, melainkan investasi dalam peradaban, keamanan, dan keberlangsungan bangsa.
Jangan tunggu sampai rudal itu benar-benar datang. Sebab saat itu, mungkin satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa. Dan doa, sebagaimana sejarah membuktikan, tak selalu cukup menghadang kecepatan rudal hipersonik dengan kecepatan Mach 5.