News

Penulis Buku Makassar Mendunia Jadi Narasumber di BRIN

JAKARTA, UNHAS.TV – Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, Dr. Abd Rahman Hamid, kembali menjadi narasumber dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Sebelumnya, penulis buku Makassar Mendunia ini tampil dalam AB Lapian Memorial Lecture (23 September 2025) dengan tema “Cerita dalam Hidangan: Tradisi Lisan Kuliner sebagai Potensi Wisata Gastronomi Berkelanjutan.”

Kali ini, Hamid hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung selama tiga hari, 24–26 November 2025. FGD ini menghadirkan enam narasumber utama: KH Ahmad Baso, Dr. Anhar Gonggong, Dr. Suriadi Mappangara, Prof. Dr. Muhlis Hadrawi, Dr. Abd Rahman Hamid, dan Dr. Mukhlis PaEni.



Hamid mengisi sesi hari ketiga dengan topik “Gastronomi dan Jalur Rempah: Peran Perempuan dalam Merawat Tradisi Maritim Buton dan Mandar.” Sesi tersebut dipandu oleh moderator Risma Widiawati, M.Si.

“Tradisi kemaritiman sering kali dianggap milik laki-laki saja. Namun, apakah tradisi itu bisa bertahan tanpa kehadiran perempuan?” demikian pertanyaan pembuka Hamid, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN RIL.

Presentasi itu dihadiri 30 peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban secara luring dan 45 peserta secara daring.

Dari isu tersebut, Hamid mulai menguraikan peran besar perempuan dalam merawat kelangsungan tradisi maritim, sekaligus mentransformasi praktik gastronomi para pelaut menjadi identitas kuliner masyarakat Buton dan Mandar.

Menurutnya, perempuan di kedua komunitas bahari itu memiliki peran sentral dalam mendukung aktivitas pelayaran. Mereka menyiapkan bekal perjalanan laut bagi suami, memproduksi berbagai komoditas niaga seperti kain tenun, parang dan pesau besi, minyak goreng dari kelapa, hingga menenun kain layar perahu.

Yang menarik, kedua kelompok ini memiliki jenis kuliner dasar yang sama dan berbahan singkong: soami/kasoami/sangkola di Buton dan jepa di Mandar. Hamid menjelaskan bahwa kesamaan tersebut muncul karena dua faktor.

Pertama, kehidupan di laut dengan karakter gelombang, arus, dan angin yang serupa. Kedua, kebutuhan pelaut akan makanan yang praktis, tahan lama, dan mudah dikonsumsi dalam kondisi angin kuat maupun tenang.

Di sinilah kecermatan perempuan memainkan peran—mereka memastikan keselamatan suami sekaligus merawat keberlanjutan tradisi maritim.


Abd Rahman Hamid diapit peserta diskusi

Awalnya makanan para pelaut, kuliner ini kemudian dikonsumsi semua lapisan masyarakat dan kini menjadi simbol identitas Buton dan Mandar. Lebih jauh, gastronomi tersebut menjadi petunjuk penting mengenai persebaran diaspora kedua kelompok di berbagai wilayah Indonesia.

“Bahkan, ia dapat disebut sebagai bentuk soft diplomacy lintas budaya di Tanah Air,” ujar Hamid.

Ia menambahkan, elaborasi mengenai kuliner maritim ini membuka ruang penelitian lebih luas tentang kehidupan pelaut di Nusantara. “Tanpa kehadiran perempuan, tidak mungkin tradisi maritim bisa bertahan berabad lamanya,” tegasnya menutup presentasi.

Antusiasme peserta terlihat dari respons aktif delapan penanggap: Kang Dede, Prof. Dr. Saleh, Andi Baso, Lamansi, Dudung Yuwono, Wardiah Hamid, Prof. Dr. Idham Kholid Bodi, dan Syamsu Rijal.

Diskusi ditutup oleh Kepala Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban, Wuri Handoko—kandidat Doktor Arkeologi Universitas Indonesia. Ia menyampaikan apresiasi kepada seluruh narasumber yang telah berbagi pengetahuan dan menyatakan harapan agar ke depan terbentuk pusat kajian Gastronomi Nusantara di lingkungan BRIN.