Opini
Polhum

Dari Iran Vs Israel, Kita Menafsir Perang di Masa Depan




Menjaga rentang Garuda berarti menjaga langit dari ancaman rudal hipersonik dan satelit musuh. Menjaga lautan dari infiltrasi kapal tak berawak dan drone bawah laut. Menjaga ruang digital dari sabotase siber yang bisa melumpuhkan jaringan keuangan, logistik, dan pemerintahan.

Indonesia harus segera membangun ekosistem pertahanan berlapis: radar dengan kemampuan deteksi tinggi, drone cerdas untuk pengawasan perbatasan, sistem siber terintegrasi, hingga satelit strategis milik sendiri yang tidak bergantung pada negara lain.

Namun kekuatan sejati tidak hanya terletak pada alutsista. Indonesia harus membangun kemandirian teknologi dengan melibatkan kampus, lembaga riset, dan industri dalam negeri.

Generasi muda harus disiapkan bukan hanya untuk menjadi pengguna teknologi, tapi pencipta dan penjaganya. Pendidikan pertahanan siber, kecerdasan buatan, dan ruang angkasa bukan lagi pelengkap—tetapi kebutuhan strategis nasional.

Dan yang tak kalah penting adalah kesadaran sipil nasional. Dalam perang masa depan, semua orang bisa menjadi target, tapi juga bisa menjadi pelindung. Literasi digital, ketahanan informasi, dan kedisiplinan komunikasi harus menjadi bagian dari karakter warga negara. Karena musuh terbesar bukan hanya yang datang dari luar, tetapi juga dari kelengahan kita sendiri terhadap dunia yang terus berubah.

Indonesia mungkin belum sedang berperang. Tapi dalam dunia yang tidak lagi mengenal garis depan yang jelas, perang tidak selalu datang dengan deklarasi. Ia bisa menyamar sebagai sabotase, disinformasi, atau krisis energi. Maka menjaga rentang Garuda bukan hanya tugas militer, tetapi panggilan sejarah bagi seluruh rakyat Indonesia.

Agar tanah air ini tetap berdiri—dari Sabang sampai Merauke, dari langit hingga dasar lautnya—diperlukan satu hal yang tidak bisa digantikan oleh mesin: kesadaran bersama bahwa kemerdekaan harus dijaga setiap saat, bahkan ketika tidak terdengar dentuman senjata.