Opini

Menjaga Makassar di Jagat Digital

Oleh: Ilham Akbar*

Makassar adalah kota yang hidup dalam riuh. Riuh di jalan-jalan utamanya yang macet, di pasar-pasar yang penuh dengan tawar-menawar, di lorong-lorong sempit yang menyimpan cerita lama. Namun kini, riuh itu juga pindah ke layar ponsel kita. 

Di dunia digital, Makassar hadir dalam bentuk suara, komentar, dan video yang melintas dengan cepat. Salah satu tanda pagar yang mengikat semua itu adalah #JagaMakassarta.

Beberapa waktu terakhir, saya dan tim mencoba untuk tidak hanya melihat, tetapi juga mendengar. Mendengar dengan cara yang berbeda: mengumpulkan 383 unggahan video dan membaca lebih dari 62 ribu komentar yang muncul di TikTok. Dari situ, saya mencoba memahami apa yang sebenarnya dirasakan warga tentang kota ini.




Bagi saya, data tidak pernah sekadar angka. Ia adalah kisah yang terfragmentasi, suara yang perlu dijahit agar membentuk narasi utuh. Di balik ratusan unggahan itu, saya menemukan wajah Makassar yang penuh paradoks: marah sekaligus berharap, kecewa sekaligus mencintai, mengeluh sekaligus mendoakan.

Potret Sentimen yang Terbelah

Analisis yang kami lakukan menggunakan metode sederhana—Naive Bayes Classifier. Hasilnya mencolok: hampir separuh komentar (49,5 persen) bernada negatif. Sekitar sepertiga (29,24 persen) bersifat netral, dan hanya seperlima (21,26 persen) yang bernada positif.




Apa arti angka-angka ini? Ia berarti ada keresahan nyata di tengah masyarakat. Kata-kata yang muncul dominan dalam komentar negatif adalah “hilang,” “berat,” “putus,” dan “air.”

Kata-kata yang seperti potret kegelisahan: tentang fasilitas yang rusak, air yang tak mengalir, rasa takut karena kekerasan, dan kehidupan yang semakin berat.

Salah satu komentar menuliskan: “Terlalu banyak kekerasan dan kerusuhan, membuat warga takut keluar rumah.” Komentar lain menambahkan: “Situasi makin berat, banyak fasilitas umum yang rusak dan belum diperbaiki.”

Kata-kata ini, meski lahir di ruang digital, sesungguhnya adalah jeritan yang lahir dari jalanan nyata.

Namun, di antara kegelapan itu, ada cahaya. Kata-kata positif juga muncul, walau tidak dominan. Komentar seperti “Semangat semua warga Makassar menjaga kedamaian kota kita,” atau “Doa bersama agar Makassar selalu aman dan damai.”




Bahkan ada apresiasi atas inovasi: “Digitalisasi parkir di Makassar sangat membantu, membuat semuanya lebih mudah dan transparan.”

Dalam WordCloud, kata-kata “ilmu,” “guna,” dan “tajam” muncul besar, menandakan masih ada penghargaan terhadap pengetahuan, manfaat, dan keberanian untuk berpikir jernih.

Media Sosial: Cermin Paling Jujur

Banyak orang memandang media sosial hanya sebagai ruang kebisingan. Saya melihatnya berbeda. Media sosial adalah cermin, kadang retak, kadang buram, tetapi tetap memperlihatkan wajah kita. Di sana, warga berbicara tanpa sensor, tanpa basa-basi birokrasi, tanpa kalimat manis yang sering kita dengar di podium.

Itulah mengapa saya menyebutnya ruang kejujuran. Warga menulis apa yang mereka rasakan: amarah, takut, cemas, sekaligus harapan. Mereka tidak terikat pada narasi resmi, tidak perlu menunggu rilis pers.

Dan justru di situlah letak kekuatan data digital. Ia menunjukkan denyut emosi publik, sesuatu yang tidak mudah ditangkap lewat survei konvensional.




Sentimen negatif bukan sekadar tanda pesimisme. Ia adalah alarm sosial. Ia mengingatkan bahwa ada yang tidak berjalan baik, ada yang harus segera diperbaiki. Jika kita menutup telinga terhadap alarm itu, maka kita akan terus berjalan dalam gelap.

Dari Viral ke Vital

Tagar #JagaMakassarta menunjukkan bahwa warga punya kepedulian. Namun pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana membuatnya lebih dari sekadar slogan viral? Bagaimana menjadikannya gerakan yang vital?

Pemerintah kota perlu membaca data ini dengan hati terbuka. Kritik warga bukan ancaman, tetapi masukan. Ketika warga menulis tentang kerusakan fasilitas umum, itu berarti ada janji yang belum ditepati. Ketika warga menuliskan doa dan semangat, itu berarti masih ada kepercayaan yang harus dijaga.

Komunitas dan organisasi masyarakat pun punya peran. Mereka bisa menjembatani jarak antara kebijakan dan realitas, antara harapan dan kenyataan. Solidaritas warga Makassar sudah teruji dalam banyak peristiwa.

Yang dibutuhkan sekarang adalah cara baru untuk merawat solidaritas itu di era digital.

Harapan di Tengah Kegelisahan

Saya percaya, kota ini tidak pernah kehilangan daya juangnya. Sejarah Makassar penuh dengan kisah keberanian. Dari benteng Somba Opu hingga pelabuhan-pelabuhan yang membuka diri pada dunia, Makassar selalu tumbuh dengan semangat melawan arus.

Hari ini, tantangannya berbeda. Bukan lagi meriam dan kapal perang, melainkan narasi, kepercayaan, dan kohesi sosial yang diuji. Media sosial adalah medan baru di mana pertarungan itu berlangsung.

Ketika saya membaca komentar-komentar warga, saya menemukan dua wajah Makassar: wajah yang marah sekaligus wajah yang mendoakan. Dua wajah ini tidak harus bertolak belakang. Marah bisa menjadi energi untuk memperbaiki, sementara doa bisa menjadi penopang agar kita tidak kehilangan arah.

Menjaga Makassar, Menjaga Masa Depan

Sebagai seorang digital strategist, saya sering ditanya: apa gunanya semua analisis ini? Jawaban saya sederhana: analisis hanyalah peta. Ia tidak akan mengubah apa pun jika tidak ada yang mau berjalan. Data ini memberi kita arah, tetapi langkah nyata tetap ada di tangan kita bersama.

#JagaMakassarta harus kita terjemahkan dalam tindakan sehari-hari. Mulai dari menjaga keamanan lingkungan, merawat fasilitas bersama, hingga saling mengingatkan di ruang digital agar tidak terprovokasi.

Kota ini tidak boleh hanya dipelihara lewat jargon. Ia harus dijaga dengan aksi kecil dan besar, dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat, dengan solidaritas yang tumbuh dari bawah.

Pada akhirnya, menjaga Makassar berarti menjaga harapan. Harapan bahwa kota ini bisa menjadi rumah yang aman, damai, dan penuh kebersamaan. Harapan bahwa suara-suara di media sosial tidak hanya menjadi gema yang hilang, tetapi menjadi nyanyian kolektif yang menggerakkan perubahan.

Dan seperti doa yang terus ditulis warga: “Mari kita jaga Makassar bersama.”


*Ilham Akbar dikenal sebagai Digital Strategist, sekaligus konsultan Search Engine Optimization (SEO). Dia telah banyak membantu UMKM untuk memasuki jagad digital. Kini domisili di Kota Makassar.