Opini

Tafsir Ekologi Transenden Surat Yasin Ayat Dua Belas

Prof. Khusnul Yaqin saat menjelaskan gagasan Tafsir Ekologi Transenden Surat Yasin Ayat Dua Belas, yang menekankan keterhubungan antara wahyu, alam, dan keseimbangan kosmik sebagai dasar kesadaran ekologis manusia. Prof. Khusnul Yaqin saat menjelaskan gagasan Tafsir Ekologi Transenden Surat Yasin Ayat Dua Belas, yang menekankan keterhubungan antara wahyu, alam, dan keseimbangan kosmik sebagai dasar kesadaran ekologis manusia.

Oleh: Khusnul Yaqin*

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang yang telah mati dan Kami mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan jejak-jejak yang mereka tinggalkan, dan segala sesuatu telah Kami kumpulkan dan tetapkan dalam Imam yang jelas (Imam Mubin).” (QS. Yasin [36]: 12)

Makna dan Titik Renungan

Surat Yasin ayat dua belas menampilkan ungkapan yang telah menimbulkan begitu banyak perenungan dalam sejarah tafsir, yaitu frasa wa kulla syai’in ahsaināhu fī imāmin mubīn (وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ). Ayat yang tampak singkat ini ibarat sebuah pintu yang, ketika dibuka, menyingkap jalinan kosmos yang bekerja sebagai satu kesatuan utuh dalam pengetahuan Tuhan.

Seorang mufassir melihat ayat ini sebagai kitab catatan; seorang ‘ārif melihatnya sebagai pusat kosmis; sementara seorang ekolog transenden memandangnya sebagai hukum keterkaitan ekologis yang menegakkan keseimbangan alam. Namun, sebelum menelusuri kedalaman makna irfani dan ekologis dari ayat ini, penting untuk memulai dari landasan tafsir klasik.

Tafsir Klasik 

Dalam tradisi Sunni, mayoritas ulama seperti al-Ṭabarī, al-Qurṭubī, Ibn Kaṯīr, dan al-Baghawī menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan imāmin mubīn adalah kitab yang mencatat segala sesuatu; sebagian menafsirkannya sebagai lauḥ al-maḥfūẓ.

Kata imām dipahami sebagai sesuatu yang diikuti, dijadikan acuan, atau menjadi rujukan. Dalam konteks ini, kitab catatan amal dan ketetapan kosmis disebut imām karena ia menjadi rujukan segala sesuatu.

Menurut para mufassir klasik, kata ahsaināhu (أَحْصَيْنَاهُ) berarti bahwa Allah telah menghitung, mengumpulkan, dan menetapkan segala sesuatu tanpa kecuali. Tafsir ini menekankan kekuasaan dan pengetahuan Tuhan yang meliputi seluruh fenomena—baik yang tampak maupun tersembunyi, di alam lahir maupun batin.

Tradisi Syiah klasik memandang ayat ini dari sudut berbeda. Dalam sejumlah riwayat yang diriwayatkan oleh al-Kulainī dalam al-Kāfī, al-Ṣadūq dalam al-Ma‘ānī, dan al-Ṭūsī dalam al-Tibyān, imāmin mubīn tidak dipahami sebagai kitab, melainkan sebagai manusia yang menjadi poros pengetahuan ilahi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan para Imam Maksum.

Beberapa riwayat menyebutkan secara eksplisit bahwa imam yang nyata itu adalah Ali. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa para Imam adalah tempat Tuhan meletakkan ilmu dan hikmah-Nya. Mereka menjadi jalan bagi manusia untuk memahami syariat secara benar dan mengenal hakikat secara tepat.

Dengan demikian, imam dalam tafsir Syiah adalah entitas hidup yang membawa cahaya ilahi—bukan sekadar lembaran catatan yang pasif.

Pendalaman Irfani: Imam sebagai Pusat Eksistensi

Dalam tradisi irfani Syiah, interpretasi ini diperluas. Imam tidak hanya dipandang sebagai pemimpin rohani atau penjaga syariat, melainkan sebagai pusat eksistensi. Ia adalah nuqṭah yang menjadi awal garis kosmis; poros yang menghubungkan antara kehendak Tuhan yang absolut dengan realitas alam yang berlapis-lapis.

Dalam hadis-hadis irfani disebutkan bahwa imam adalah cahaya pertama yang diciptakan, dan dari cahaya itu terpancar seluruh wujud lainnya. Dengan demikian, imam bukan hanya pencatat realitas, tetapi juga sumber daya dan sumber wujud bagi seluruh alam.

Resonansi dengan Metafisika Ibn ‘Arabi

Menariknya, tafsir Syiah seperti ini menemukan resonansi kuat ketika didekati melalui metafisika Ibn ‘Arabi. Dalam al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud adalah satu realitas yang memancarkan dirinya pada berbagai tingkatan.

Ia tidak menafsirkan Surat Yasin ayat dua belas secara tekstual, namun konsep-konsep metafisikanya memberi kerangka kosmologis untuk memahaminya. Menurutnya, tingkatan tertinggi adalah Aḥadiyyah—keesaan mutlak tanpa atribut—disusul oleh Wahdah (kesatuan sifat), lalu Wāḥidiyyah (tempat nama dan sifat ilahi menjadi determinasi awal bagi segala wujud). Dari sini lahir a‘yān ṯābitah, bentuk-bentuk abadi yang tersimpan dalam ilmu Tuhan.

Selanjutnya, bentuk-bentuk ini memperoleh manifestasi di alam ruhani, kemudian memantul ke alam miṯāl, dan akhirnya berwujud paling rendah di alam jasmani.

Struktur Wujud dan Kedudukan Imam

Pada setiap tingkatan wujud terdapat dua aspek: wujud dan daya. Wujud adalah tingkat keberadaan, sedangkan daya adalah kekuatan yang memancar darinya. Semakin tinggi tingkatan wujud, semakin besar daya yang terpancar.

Dengan demikian, imāmin mubīn tidak mungkin berada pada tingkat a‘yān ṯābitah (karena hanya konseptual), tidak di alam ruhani (karena malaikat tidak memiliki totalitas wujud), dan tidak pula di alam jasmani (karena terlalu terbatas). Ia harus berada pada tingkatan makhluk tertinggi, yaitu al-Barzakh al-A‘lā (الْبَرْزَخُ الْأَعْلَى), tempat Insān Kāmil berdiri sebagai cermin Tuhan dan wadah seluruh tajallī.

Insān Kāmil meliputi seluruh tingkatan wujud di bawahnya dan memancarkan daya bagi semua makhluk lain. Dengan demikian, imāmin mubīn adalah entitas yang darinya memancar daya ke seluruh wujud—menggerakkan malaikat, menampakkan bentuk-bentuk di alam miṯāl, dan menegakkan hukum-hukum di alam jasmani.

Ekosistem empiris di bumi hanyalah pantulan paling redup dari daya tertinggi itu. Setiap hukum ekologis yang kita lihat di bumi merupakan refleksi dari hukum yang lebih tinggi; setiap keseimbangan di alam merupakan pantulan dari keseimbangan pada tingkat wujud yang lebih luhur.

Ilustrasi konseptual tafsir ekologi transenden Surat Yasin ayat 12 — menggambarkan pancaran cahaya wahyu yang menghubungkan langit dan bumi, di mana seluruh alam semesta menjadi cermin kehidupan dan keseimbangan kosmik dalam pengetahuan Ilahi.
Ilustrasi konseptual tafsir ekologi transenden Surat Yasin ayat 12 — menggambarkan pancaran cahaya wahyu yang menghubungkan langit dan bumi, di mana seluruh alam semesta menjadi cermin kehidupan dan keseimbangan kosmik dalam pengetahuan Ilahi.


Prinsip Ekologi Transenden

Dalam prinsip ekologi transenden, bumi tidak dapat dipahami tanpa mengenali daya yang memancar dari tingkatan tertinggi. Manusia tidak dapat mengelola bumi hanya dengan pengetahuan empiris semata. Pengelolaan yang benar menuntut pengetahuan menyeluruh tentang sistem yang dikelola—yakni sistem wujud yang berlapis-lapis.

Mereka yang bergerak menuju tingkat imāmin mubīn atau berada dalam bimbingannya sajalah yang dapat mengelola alam secara benar. Dalam pandangan ini, imam adalah sumber pengetahuan dan daya pengelolaan semesta, termasuk sistem ekologis bumi.

Cinta sebagai Jembatan Kosmis

Keindahan pandangan irfani terletak pada kemampuannya menyambungkan yang transenden dan yang empiris melalui cinta. Di sinilah relevansi hadis masyhur tentang cinta kepada Ali bin Abi Thalib menemukan tempatnya:

لو اجتمع الناس على حب علي بن أبي طالب لما خلق الله النار

“Seandainya seluruh manusia bersatu dalam mencintai Ali bin Abi Thalib, niscaya Allah tidak akan menciptakan neraka.”

(Awāli al-La’ālī, Ibn Abī Jumhūr al-Aḥsā’ī, Jilid 4, hlm. 86, https://lib.eshia.ir/11013/4/86)

Hadis ini tampak sederhana namun mengandung kedalaman makna luar biasa: cinta kepada Ali bukan hanya ekspresi emosional, tetapi pengakuan terhadap struktur wujud. Jika manusia mencintai Ali dengan benar, maka neraka tidak perlu ada—karena seluruh wujud telah kembali tersambung kepada sumbernya.

Imam sebagai Pusat Keseimbangan Kosmos

Ketika imāmin mubīn dipahami sebagai Ali dan Ahlulbait, maka cinta kepada Imam bukan sekadar kepada figur, melainkan keterhubungan dengan daya tertinggi. Saat manusia tersambung dengan daya itu, seluruh tindakan ekologis, moral, dan spiritualnya akan mengikuti hukum kosmik yang benar.

Kerusakan alam terjadi ketika manusia kehilangan hubungan dengan pusat daya, hidup hanya pada lapisan terendah wujud, dan tak lagi mampu melihat pancaran ilahi yang menyatukan segalanya. Maka, pengelolaan ekologis sejati harus dimulai dari pemulihan hubungan manusia dengan pusat wujud tersebut.

Ekologi yang tidak berakar pada metafisika akan melahirkan kebijakan yang terputus dari akar wujud. Sebaliknya, ekologi yang berpijak pada imam sebagai pusat wujud akan membawa manusia pada manajemen yang menyeluruh, karena ia memahami bahwa setiap tindakan terhadap alam adalah tindakan terhadap jalinan kosmis.

Dengan demikian, imāmin mubīn bukan sekadar catatan atau konsep teologis abstrak. Ia adalah pusat di mana daya dan wujud memancar, kunci untuk memahami bagaimana alam bekerja, serta dasar bagi manajemen ekologis yang benar.

Tafsir Sunni menekankan pengetahuan Tuhan; tafsir Syiah menyoroti kepemimpinan spiritual; metafisika Ibn ‘Arabi menegaskan struktur wujud; dan ekologi transenden menegaskan keterhubungan sistem. Semua pandangan ini berjumpa dalam satu titik: pusat wujud, yaitu imam yang nyata.

Membaca ayat ini melalui lensa ekologi transenden mengajak manusia menyadari bahwa ia hidup dalam jalinan daya dan eksistensi yang satu dan suci. Setiap pohon, ikan, sungai, dan hembusan angin adalah refleksi dari daya yang turun dari tingkat tertinggi ke tingkat paling rendah.

Kerusakan ekologis bukan sekadar kerusakan fisik, tetapi kerusakan relasi manusia dengan hierarki wujud. Ayat ini mengajak manusia kembali kepada pusat daya itu—melalui cinta, pengetahuan, dan tindakan ekologis yang benar.

Dengan demikian, tafsir ekologi transenden Surat Yasin ayat dua belas menempatkan imāmin mubīn sebagai sumber daya dan pengetahuan seluruh sistem kosmis. Manusia, bila ingin mengelola bumi dengan benar, harus menyambungkan dirinya dengan pusat wujud itu—karena hanya di sanalah keteraturan lahir dan keseimbangan semesta dijaga.

Ayat ini adalah undangan bagi manusia untuk memahami alam bukan hanya sebagai ruang hidup, tetapi sebagai pancaran cahaya ilahi yang harus dijaga sesuai hukum kosmos: jembatan antara wahyu dan ekologi, antara imam dan semesta, antara cinta dan keberlanjutan.

*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin