Opini

Sulsel Siap Jadi Magnet Wisata Halal dan Kesehatan: Perlu Kolaborasi, Bukan Wacana

ok

Oleh: Aeni Nahdiyati* 

Potensi Besar, Tantangan Nyata

Sulawesi Selatan merupakan daerah dengan potensi pariwisata yang luar biasa, baik dari segi kekayaan alam, keragaman budaya, kekuatan sejarah, hingga nilai-nilai spiritualitas Islam yang kental dalam kehidupan masyarakatnya. Dari pegunungan yang memesona hingga pulau-pulau eksotis, dari warisan kuliner hingga jejak peradaban Islam yang kaya—semua menjadi modal besar bagi Sulsel untuk tampil sebagai salah satu destinasi unggulan di Indonesia, bahkan di tingkat internasional. Sayangnya, potensi besar ini masih belum digarap secara optimal dan terstruktur. Banyak inisiatif dan niat baik yang sudah muncul dari berbagai pihak, namun belum terkonversi menjadi gerakan yang masif, terintegrasi, dan berdampak nyata di lapangan.

Hal ini sangat terlihat dalam dua sektor strategis yang tengah menjadi perhatian global: pariwisata ramah Muslim (Moslem Friendly Tourism) dan pariwisata kesehatan (Health Tourism). Dua sektor ini sejatinya sangat cocok dikembangkan di Sulsel karena selaras dengan identitas, kebutuhan, serta kekuatan lokal yang dimiliki. Namun, upaya pengembangannya masih terbatas pada tataran wacana dan diskusi, terutama melalui Forum Group Discussion (FGD) yang belum banyak ditindaklanjuti secara konkret. Padahal, jika ingin bersaing di tingkat nasional dan global, Sulsel tidak cukup hanya menjadi "laboratorium ide", tetapi harus bertransformasi menjadi pusat eksekusi dan inovasi.

Momentum Baru untuk Kolaborasi

Inilah saat yang tepat untuk membangun kolaborasi yang lebih nyata dan terencana antarpemangku kepentingan—yakni akademisi, pemerintah, dan pelaku industri pariwisata. Masing-masing memiliki peran strategis yang saling melengkapi. Kolaborasi ini harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak, edukasi yang memberdayakan, serta aksi-aksi yang dapat mengangkat Sulsel sebagai daerah percontohan dalam penerapan pariwisata yang inklusif, berkelanjutan, dan unggul. Jika semua pihak dapat bergerak bersama dengan visi yang sama, maka Sulsel tidak hanya menjadi destinasi, tetapi juga rumah bagi inovasi dan praktik terbaik pariwisata nasional.

Sejak 2018, tokoh pariwisata Sulawesi Selatan seperti Bambang Haryanto—yang tergabung dalam ASITA, Celebes Halal Tourism Community, dan South Sulawesi Tourism Promotion Board—bersama rekan-rekannya telah menggagas pengembangan pariwisata halal di Sulsel. Bahkan, beberapa hotel di Makassar sudah sempat disertifikasi dapur halalnya sebagai langkah awal. Namun, geliat ini berhenti pada tataran diskusi dan belum terimplementasi dalam bentuk paket wisata yang siap jual. Padahal, yang kini paling dibutuhkan oleh operator perjalanan adalah bagaimana mengemas produk wisata ramah Muslim yang menarik, edukatif, dan sesuai kebutuhan pasar.

Hal serupa juga terjadi pada pengembangan wisata kesehatan (medical & wellness tourism). Sejak 2022, beberapa FGD sudah dilakukan, tetapi masih minim aksi nyata. Padahal, Kota Makassar punya modal besar. Salah satunya adalah keberadaan Rumah Sakit milik Kementerian Kesehatan di kawasan Center Point of Indonesia (CPI) yang bisa menjadi pusat layanan wisata medis kelas nasional bahkan internasional.

Untuk mewujudkan sesuatu yang luar biasa, maka perlu usaha yang tidak biasa. Ungkapan ini sangat tepat menggambarkan situasi yang dihadapi saat ini. Perlu terobosan dan keberanian dalam mengambil langkah konkret, bukan hanya rutinitas diskusi tanpa tindak lanjut. Oleh karena itu, keterlibatan pemerintah daerah sangat krusial dalam hal ini. Misalnya, melalui pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Pariwisata Halal Sulawesi Selatan, atau penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang Ekonomi Syariah yang dapat memperkuat ekosistem pendukung pariwisata ramah Muslim.

Saat ini, Perhimpunan Pariwisata Halal Indonesia (PPHI), yang berdiri sejak 2012 dan beranggotakan lintas sektor (hotel, restoran, agen perjalanan, pusat belanja, spa, koki halal, pemandu wisata, akademisi, hingga konsultan syariah), berada dalam kondisi vakum. Ini menjadi sinyal bahwa peran dan sinergi antarstakeholder perlu dihidupkan kembali secara lokal dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan kolaboratif.

Menariknya, geliat kolaboratif untuk membangkitkan pariwisata ramah Muslim mulai terlihat kembali. Pada hari Jumat, 11 Juli 2025, sejumlah akademisi dan praktisi pariwisata dari berbagai institusi dan asosiasi di Sulsel berkumpul dalam sebuah forum Silaturahmi Pariwisata di Hotel Four Points Makassar. Pertemuan ini bukan hanya menandai semangat baru, tetapi juga menjadi langkah awal yang konkret dalam menghidupkan kembali wacana Moslem Friendly Tourism menjadi gerakan bersama yang nyata. Forum ini menggarisbawahi pentingnya keberlanjutan, sinergi, dan kehadiran kebijakan daerah yang mendukung.

>> Baca Selanjutnya