
Di tengah derasnya arus liberalisasi pascareformasi, ketika banyak ekonom memilih diam atau bertepuk tangan atas deregulasi yang konon membawa efisiensi, Kwik berdiri di sisi yang berbeda.
Ia menolak arus liberalisasi ekonomi yang membabi buta, terutama ketika kebijakan itu mengorbankan kepentingan rakyat kecil di altar pertumbuhan dan investasi asing.
Ia menyaksikan bagaimana negara perlahan kehilangan kedaulatannya atas sektor-sektor strategis, listrik, air, pangan, karena tunduk pada tekanan lembaga donor internasional dan elite bisnis dalam negeri. Ia menentang sistem yang menjadikan negara sebagai pelayan pasar, bukan pelindung rakyat.
Baginya, pasar memang penting, tapi negara tidak boleh menyerahkan seluruh hidup warganya pada mekanisme tak kasatmata yang sering kali hanya menguntungkan yang kuat.
Dalam salah satu tulisannya, ia menyindir bagaimana kebijakan yang dianggap pro-pasar justru sering menjadi kedok untuk membenarkan privatisasi dan komersialisasi yang tak terkendali.
“Pasar bebas yang benar-benar bebas,” tulisnya suatu kali, “adalah mitos yang dijual oleh mereka yang sudah lebih dulu punya modal dan kuasa.” Kalimat itu ia tuliskan bukan dengan marah, tapi dengan getir, sebab ia tahu, terlalu banyak orang yang memuja pertumbuhan tanpa pernah bertanya: siapa yang tumbuh, dan siapa yang tumbang?
Di tengah hingar-bingar politik transaksional, ketika prinsip dan kebijakan bisa dibeli dan dijual dengan mudah, suara Kwik adalah selasar sunyi yang mengingatkan kita pada etika dan akal sehat. Ia tidak berteriak, tapi tulisannya menghentak.
Ia tidak menyerang pribadi, tapi menguliti struktur. Ia tidak merindukan masa lalu, tapi juga tak silau pada janji-janji modernisasi tanpa landasan moral.
Ia menulis dengan kesetiaan pada rakyat biasa, mereka yang tak punya saluran untuk bersuara, yang tak mengerti angka-angka makroekonomi, tapi tahu persis apa artinya harga beras naik dan subsidi dipangkas.
Di balik bahasa statistik dan neraca perdagangan, Kwik melihat wajah-wajah itu, dan kepadanya ia berpihak. Bagi Kwik, tugas ekonom bukan hanya menjelaskan, tapi juga menjaga, menjaga agar negara tidak kehilangan jiwanya di tengah kalkulasi keuntungan.
Di dunia pendidikan, kiprahnya tak kalah dalam. Ia mendirikan SMA Erlangga di Surabaya pada 1954, menjadi pengurus Yayasan Trisakti sejak 1968, lalu ikut mendirikan Institut Manajemen Prasetiya Mulya pada 1982, serta Institut Bisnis Indonesia yang kemudian menjadi Kwik Kian Gie School of Business.
Di tengah keterasingan identitasnya, ia memilih merawat generasi muda, karena baginya, mencintai Indonesia berarti menyiapkan masa depannya.
Ia wafat pada Senin malam, 28 Juli 2025, pukul 22.00 WIB, di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, dalam usia 90 tahun. Politisi Hendrawan Supratikno menulis, “Selamat jalan menuju keabadian, ekonom andal berintegritas. You’ll be missed.”
Selamat jalan, Pak Kwik.
Engkau pernah berdiri di tengah bangsa yang tak sepenuhnya menerimamu, tapi engkau mencintainya dengan utuh. Negeri ini belum tentu adil padamu. Tapi sejarah akan. Dan kami akan mengingatmu, sebagai teladan kesetiaan, suara akal sehat, dan pelindung nalar yang tak pernah menyerah.
Sebagaimana pernah engkau tuliskan, dengan lembut namun menggigit:
“Kalau saya tidak mencintai Indonesia, saya tidak akan capek-capek menulis, bicara, dan mengkritik. Justru karena saya cinta, saya ingin negeri ini lebih waras, lebih adil.”
Cinta itu kini berpulang. Tapi semangatnya akan terus bergema, dalam setiap pikiran jernih yang tak sudi tunduk pada kekuasaan yang membutakan.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.