Opini

RPL dan Micro-Credential: Membumikan Fleksibilitas Pendidikan Tinggi

Dr. Yadi Mulyadi menyoroti pentingnya pengakuan pengalaman lampau dan pembelajaran modular sebagai wujud transformasi pendidikan tinggi yang adaptif dan membumi. Dr. Yadi Mulyadi menyoroti pentingnya pengakuan pengalaman lampau dan pembelajaran modular sebagai wujud transformasi pendidikan tinggi yang adaptif dan membumi.

Oleh. Yadi Mulyadi 

Pengantar

Tulisan ini lahir dari ruang perjumpaan akademik yang penuh makna. Pada hari Selasa, 25 November 2025, pukul 08.00 – 11.30 WITA, saya berkesempatan mengikuti Sosialisasi Implementasi Permendiktisaintek Nomor 39 Tahun 2025 yang menyoroti aspek fleksibilitas pembelajaran melalui Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dan micro-credential sebagai bentuk pembelajaran adaptif. Bertempat di Auditorium Prof. Baharuddin Lopa, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, forum ini menghadirkan diskusi yang tidak hanya teknis, tetapi juga filosofis: bagaimana pendidikan tinggi dapat merangkul pengalaman hidup, keterampilan singkat, dan kebutuhan masyarakat luas. 

Acara ini dibuka resmi oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Hasanuddin, Prof. drg. Muhammad Ruslin, M.Kes., Ph.D., Sp.BM(K), didampingi oleh Direktur Pendidikan Unhas, Prof. Dr. Risma Illa Maulany, S.Hut., M.NatRest., serta dihadiri oleh Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Ketua Program Studi, dan Kepala Bagian Akademik se-Universitas Hasanuddin. Diskusi menjadi semakin kaya dengan pemaparan dari narasumber utama, R. Desutama Rachmat Bugi Prayogo, yang menekankan pentingnya fleksibilitas pembelajaran sebagai jawaban atas tantangan pendidikan tinggi di era perubahan.

Dari ruang sosialisasi itu, saya merasakan bahwa kebijakan ini bukan sekadar regulasi administratif, melainkan sebuah gagasan besar yang berusaha membumikan pendidikan tinggi. Ia mengajak kita untuk melihat bahwa belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lapangan, di dunia kerja, dan di komunitas. Semua jejak itu kini dapat diakui sebagai bagian dari perjalanan akademik.

RPL: Mengakui Jejak Hidup

Ada pepatah lama yang mengatakan: “Hidup adalah sekolah yang paling luas, dan pengalaman adalah guru yang paling setia.” Namun, sering kali pengalaman itu berhenti sebagai catatan pribadi, tidak pernah diakui sebagai bagian dari perjalanan akademik.

RPL hadir untuk menjembatani kesenjangan itu. Ia adalah pengakuan atas pengalaman lampau sebagai kredit akademik.

Seorang pemandu wisata desa yang bertahun-tahun mengelola tur budaya dapat mengonversi pengalamannya menjadi SKS.

Seorang arkeolog komunitas yang menulis artikel populer tentang situs lokal bisa mengajukan RPL untuk mata kuliah Arkeologi Publik.

Seorang kurator museum yang sudah memiliki sertifikasi kompetensi kurator, pernah melakukan kajian koleksi bisa mengajukan RPL untuk mata kuliah Museologi dan Tata Pamer Museum.

Pesan yang lahir sederhana namun kuat: pengalaman hidup adalah bagian dari pendidikan. Dengan RPL, pendidikan tinggi membuka pintu lebih lebar bagi masyarakat yang sudah lama berkarya di luar kampus.

Micro-Credential: Menyusun Keterampilan Masa Depan

Jika RPL mengakui masa lalu, maka micro-credential menyiapkan masa depan. Ia adalah sertifikat keterampilan singkat yang bisa ditumpuk (stackable) menjadi bagian dari kurikulum formal.

Mahasiswa arkeologi dapat mengambil modul Digital Heritage & 3D Scanning.

Mahasiswa pariwisata bisa menambah Eco-Tourism and Local Wisdom.

Dengan micro-credential, mahasiswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga memperoleh keterampilan spesifik yang langsung relevan dengan dunia kerja. Pendidikan tinggi menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan industri dan masyarakat.

Tantangan Implementasi di Universitas Hasanuddin

Universitas Hasanuddin adalah salah satu perguruan tinggi besar di Indonesia dengan 17 fakultas dan ratusan program studi yang mencakup jenjang diploma, sarjana, magister, doktor, dan profesi. Kompleksitas kelembagaan ini menghadirkan tantangan tersendiri dalam mengimplementasikan kebijakan fleksibilitas pembelajaran.

Salah satu titik strategis adalah Fakultas Vokasi, yang mengelola 12 program studi sarjana terapan. Fakultas ini menjadi laboratorium nyata penerapan RPL dan micro-credential karena orientasinya memang berbasis keterampilan praktis dan kesiapan kerja. Namun, di sisi lain, fakultas yang mengelola prodi akademik seperti Arkeologi atau Pascasarjana menghadapi tantangan berbeda: bagaimana menjaga standar riset dan ruh keilmuan agar tidak larut menjadi sekadar vokasional.

Tantangan Utama

Implementasi RPL dan micro-credential di Universitas Hasanuddin tentu tidak lepas dari sejumlah tantangan yang harus dihadapi secara serius. Pertama, skala dan keragaman program studi menjadi faktor yang menuntut perhatian. Dengan ratusan prodi yang tersebar di berbagai fakultas, setiap kurikulum memiliki karakteristik dan kekhasan masing-masing. Menentukan mata kuliah yang dapat direkognisi melalui RPL membutuhkan standar asesmen yang seragam, namun tetap kontekstual agar sesuai dengan disiplin ilmu yang berbeda-beda.

Kedua, Fakultas Vokasi muncul sebagai ujung tombak penerapan kebijakan ini. Dengan 12 program studi sarjana terapan pertahun 2025, fakultas ini menjadi arena strategis untuk menguji fleksibilitas pembelajaran. Tantangannya adalah memastikan bahwa pengakuan atas pengalaman kerja mahasiswa tetap terukur, transparan, dan tidak mengurangi kualitas akademik yang menjadi ciri khas pendidikan tinggi.

Ketiga, integrasi antara jalur akademik dan vokasional juga menjadi isu penting. Di fakultas akademik, RPL harus menilai kontribusi ilmiah dan kedalaman analisis, sementara di fakultas vokasional, penekanan lebih diarahkan pada keterampilan praktis. Mekanisme diferensiasi perlu dirancang dengan hati-hati agar identitas masing-masing jalur tetap terjaga, tanpa menimbulkan kaburnya batas antara orientasi akademik dan vokasional.

Keempat, koordinasi lintas fakultas dan pascasarjana menjadi tantangan tersendiri. Micro-credential menuntut kurikulum modular yang bisa diakses lintas prodi, sehingga mahasiswa dapat memperkaya kompetensi sesuai kebutuhan. Namun, di tingkat pascasarjana, standar riset harus tetap dijaga agar fleksibilitas tidak mengurangi kualitas ilmiah yang menjadi ruh pendidikan lanjut.

Terakhir, kesiapan infrastruktur digital menjadi fondasi penting. Sistem informasi RPL dan micro-credential harus terintegrasi dengan SIERA (Sistem Informasi Rekognisi Pembelajaran Lampau), sehingga proses pengakuan dan sertifikasi berjalan transparan dan akuntabel. Tantangannya adalah memastikan semua fakultas memiliki kapasitas administrasi dan teknologi yang sama, agar tidak terjadi kesenjangan dalam implementasi.

Kebijakan yang Perlu Didorong Unhas

Agar kebijakan RPL dan micro-credential benar-benar berjalan efektif di Universitas Hasanuddin, diperlukan langkah-langkah strategis yang melampaui sekadar formalitas administratif. Unhas harus memastikan bahwa proses rekognisi pengalaman lampau dilakukan dengan asesmen yang ketat dan berbasis capaian pembelajaran, sehingga pengakuan tidak berhenti sebagai “stempel” semata, melainkan benar-benar mencerminkan kompetensi akademik maupun vokasional. Standarisasi Asesmen RPL yang ketat bisa dengan menetapkan rubrik asesmen berbasis capaian pembelajaran (learning outcomes), bukan sekadar bukti administratif, melibatkan asesor lintas disiplin (akademisi, praktisi, asosiasi profesi) agar pengakuan pengalaman benar-benar kredibel, serta menegaskan bahwa RPL bukan bypass, melainkan pengakuan atas kompetensi yang setara dengan capaian akademik.

Micro-credential pun perlu diintegrasikan secara utuh ke dalam kurikulum, bukan sekadar sertifikat tambahan, melainkan modul yang memperkuat profil lulusan sesuai kebutuhan industri dan masyarakat. Oleh karena itu perlu integrasi micro-credential ke kurikulum, sehingga perlu menyusun kurikulum modular yang memungkinkan micro-credential masuk sebagai mata kuliah pilihan atau pengayaan. Kemudian menghubungkan micro-credential dengan profil lulusan (misalnya: digital heritage untuk arkeologi, sustainable tourism untuk pariwisata), dan memastikan micro-credential tidak hanya sertifikat tambahan, tetapi benar-benar memperkuat kompetensi lulusan.

Kolaborasi dengan mitra eksternal—seperti museum, desa wisata, lembaga profesi, dan dunia usaha—akan memberi legitimasi sosial sekaligus memperkaya pengalaman mahasiswa. Di sisi lain, kesiapan infrastruktur digital menjadi kunci agar proses RPL dan micro-credential dapat berjalan transparan, terukur, dan akuntabel. Lebih dari itu, budaya akademik di Unhas harus tumbuh adaptif: dosen, mahasiswa, dan civitas akademika melihat fleksibilitas ini sebagai inovasi pembelajaran, bukan ancaman. Dengan kebijakan yang menyeluruh, Unhas dapat memastikan bahwa RPL dan micro-credential menjadi instrumen transformasi pendidikan tinggi yang membumi, bukan sekadar simbol administratif.

Penutup: Pendidikan yang Membumi

RPL dan micro-credential adalah tanda bahwa pendidikan tinggi Indonesia sedang bergerak menuju paradigma baru: fleksibel, adaptif, dan membumi. Ia tidak lagi hanya mengukur seberapa lama seseorang duduk di bangku kuliah, tetapi juga seberapa dalam ia belajar dari kehidupan.

Lebih jauh, paradigma baru ini mengingatkan kita bahwa pendidikan sejatinya adalah proses yang terus berlangsung, tidak terbatas ruang dan waktu. Ia tumbuh dari pengalaman sehari-hari, dari interaksi dengan masyarakat, dari kerja-kerja kecil yang sering luput dari catatan akademik. Kini, semua itu diberi ruang untuk diakui, dihargai, dan dijadikan bagian dari perjalanan intelektual.

Unhas, dengan skala kelembagaan yang besar dan keragaman prodi yang dimilikinya, memiliki kesempatan untuk menjadi pionir dalam membumikan kebijakan ini. Jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, RPL dan micro-credential bukan hanya akan memperluas akses pendidikan, tetapi juga memperkuat relevansi kampus dengan denyut kehidupan masyarakat. Pendidikan tinggi tidak lagi sekadar mencetak ijazah, melainkan meneguhkan makna belajar sebagai jalan membentuk manusia yang utuh: berpengetahuan, berketerampilan, dan berakar pada realitas sosial.

Dengan kebijakan ini, kita bisa berkata: “Belajar ada di kelas, di lapangan, di dunia kerja—dan kini semua itu bisa diakui sebagai bagian dari perjalanan akademik.”

*Penulis adalah Ketua Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.