Oleh: Yusran Darmawan*
Selama beberapa hari, saya membaca disertasi yang mendapatkan penghargaan dari Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg, Jerman. Disertasi yang dibuat akademisi UI Geger Riyanto ini membahas mitos dikalangan perantau Buton Muna di Pulau Seram, Disertasi ini disebut telah menawarkan perspektif baru dalam kajian antropologi.
Seperti apakah?
***
Di sebuah malam yang sepi di pedalaman Seram, seorang pria mengaku melihat sosok lelaki tua dengan tubuh separuh ular. Ia membawa kelapa dan berjalan perlahan ke arah gunung sebelum lenyap dalam gelap.
Kisah ini bukan pertama kali terdengar di Seram maupun di Muna, tanah asalnya. Nama sosok itu, La Ode Wuna, telah melampaui batas sejarah dan masuk ke dalam dunia mitos.
Menurut Geger Riyanto, antropolog yang meneliti interaksi masyarakat Buton dan Seram, La Ode Wuna adalah sosok yang berada di persimpangan sejarah dan mitologi. Di Muna, ia dikenang sebagai seorang putra kerajaan yang terlahir berbeda—separuh manusia, separuh ular.
Ayahnya, seorang raja, merasa malu dan akhirnya mengasingkannya. Beberapa versi cerita menyebutkan bahwa ia berlayar menggunakan kelapa ke Maluku, mencari tempat yang tak lagi memperlihatkan asap dari tanah kelahirannya. Di Seram, ia menemukan rumah barunya.
Namun, di Seram, La Ode Wuna bukan hanya seorang pengelana terbuang. Beberapa komunitas lokal mempercayai bahwa ia menjadi pemimpin besar. Manusela mengisahkan bahwa ia menikahi putri seorang raja. Di tempat lain, ia diyakini pernah menjadi raja Sahulau, sebuah kerajaan yang dahulu dihuni para Alifuru.
Simbol yang Terus Berubah
Legenda ini terus berkembang, berubah bentuk mengikuti kepentingan zaman. “Di Seram, La Ode Wuna lebih dikenang sebagai makhluk gaib yang masih berkeliaran, muncul tiba-tiba di hadapan orang-orang terpilih,” kata Geger Riyanto.
Sementara itu, di Muna, ia lebih sering disebut sebagai moyang atau datuk, sosok leluhur yang dikenang namun tak pernah benar-benar hadir.
Melalui disertasinya, Being Strangers in Eastern Indonesia: Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram, Geger Riyanto menunjukkan bagaimana mitos La Ode Wuna bukan sekadar cerita rakyat, tetapi juga menjadi alat yang digunakan masyarakat Buton di perantauan untuk menegosiasikan identitas mereka di tanah asing.
Sejak lama, kisah La Ode Wuna mengalami transformasi yang menarik. Pada 1970-an, masyarakat Seram tidak mengenalnya dengan baik. Namun, ketika migrasi orang Buton ke Seram semakin masif, legenda ini semakin mendapat tempat.
Elemen-elemen baru, seperti perjalanan dengan kelapa, muncul di Seram, meskipun dalam cerita-cerita awal di Muna ia dikisahkan memasuki dunia lain melalui sebuah gua.