
Salah satu keputusan penting dalam strategi Jumbo adalah memilih figur publik yang bukan hanya populer, tapi juga punya resonansi personal dengan cerita. Nama-nama seperti Angga Yunanda, Bunga Citra Lestari, hingga Ariel Noah bukan sekadar voice actor—mereka adalah co-storyteller.
Mereka tidak hanya merekam suara, tetapi juga membagikan prosesnya: merekam video di balik layar, membuat tantangan suara karakter, bahkan ikut watch party virtual.
Tapi semua itu dilakukan bukan dengan gaya endorsement. Tidak ada skrip manis atau pengambilan gambar yang seragam. Mereka bicara sebagai penonton, bukan duta produk.
“Strategi ini memberi kesan bahwa film ini lahir dari komunitas, bukan dari studio besar,” ujar Jonah Berger, pakar marketing dari Wharton dan penulis Contagious: Why Things Catch On. “Dalam komunikasi digital, keaslian adalah mata uang baru. Orang tidak mau dijual, tapi mereka mau diajak.”
Distribusi Emosi, Bukan Sekadar Konten
Selepas peluncuran, tim promosi Jumbo tidak berhenti. Justru di sanalah kerja keras dimulai. Potongan adegan yang belum masuk versi bioskop dirilis. Fan art direspons dengan video balasan dari pengisi suara.
Lagu tema film dibuat dalam berbagai bahasa. Semua unggahan disusun dengan sentuhan manusia: caption Instagram ditulis seperti curhat, video TikTok diedit tanpa terlalu rapi. Gaya yang sengaja “berantakan” itu menciptakan nuansa: ini bukan mesin yang bicara. Ini temanmu.
Dalam pemasaran film yang biasanya bergantung pada bujet, Jumbo membuktikan bahwa kepekaan sosial jauh lebih penting. Mereka membaca selera publik, meresponsnya, dan mengajak audiens merasa sebagai bagian dari cerita.
Jumbo tidak membujuk orang datang ke bioskop—ia menciptakan ruang di mana orang ingin datang karena sudah merasa ikut memiliki.
Ketika akhirnya film ini tayang, suasananya seperti reuni. Penonton sudah hafal lagunya, mengerti karakter-karakternya, dan punya ekspektasi personal atas alur cerita. Mereka tidak menonton film. Mereka menonton teman sendiri.
>> Baca Selanjutnya