
Dr. Charlotte Hughes dari London School of Economics menyebut strategi ini sebagai hyper-local intimacy marketing. “Kunci keberhasilannya bukan pada jangkauan global atau dana besar, tapi pada kemampuan membangun ikatan mikro—dengan satu komunitas, satu percakapan, satu emosi, yang terus tumbuh.”
Film ini juga tak ragu hadir di ruang-ruang yang jarang disentuh promosi konvensional: ruang belajar komunitas kampus, diskusi sinema pelajar, bahkan forum pecinta kucing karena Meri, salah satu karakter utama, memelihara kucing oranye yang lucu. Dari percakapan kecil, gaung besar pun tercipta.
Akhir Kata: Resonansi yang Tumbuh Perlahan
Kini, anak-anak di kota besar maupun kecil menyanyikan lagu Jumbo, menirukan ekspresi Don dan Meri, dan mengunggah ulang potongan-potongan adegan favorit mereka. Mereka tidak hanya menonton—mereka ikut hidup bersama film itu.
Semua itu lahir dari strategi promosi yang sederhana, tapi konsisten. Dari jarak panjang antara ide dan eksekusi yang dimanfaatkan maksimal untuk membanjiri media sosial dengan narasi, bukan iklan. Dari kerja keras yang tidak memburu viralitas, tapi membangun percakapan. Dari komunitas, bukan koorporasi.
Dalam dunia pemasaran yang riuh oleh bunyi dan kebisingan, Jumbo hadir dengan bisikan: jujur, pelan, dan mendalam. Dan justru karena itulah, ia bisa menembus hati.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.