MAKASSAR, UNHAS.TV - Di tengah permukiman padat warga Tionghoa di Kota Makassar berdiri kokoh sebuah masjid berusia lebih dari dua abad. Masjid Anshar Maloku yang dibangun pada 1816 ini bukan hanya tempat ibadah umat Islam, tetapi juga simbol nyata toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang terus terjaga hingga hari ini.
Pembangunan Masjid Anshar Maloku awalnya dari sumbangan para tokoh terkemuka seperti Pak Aslam dari generasi Bung Karno, seorang dermawan dari Palu hingga Haji Lala dari Makassar.
Pengurus Masjid Anshar Maloku, Abdullah Yasin, menyebutkan kehadiran masjid ini justru disambut baik oleh masyarakat sekitar termasuk warga Tionghoa. Tidak hanya itu, toleransi juga terlihat nyata di setiap Bulan Ramadhan.
"Kita ini tinggal di tengah permukiman saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa. Tetapi mereka sangat senang dengan keberadaan masjid. Setiap ada kegiatan di masjid, tidak pernah ada gangguan. Begitu juga sebaliknya," ungkap Abdullah Yasin.
Ia menambahkan, sumbangan dari masyarakat Tionghoa tidak pernah putus. Mereka malah senang karena mereka meyakini jika mereka berbagi maka rezeki mereka juga ikut bertambah.
Dikutip dari laman Jalamalut.com, Masjid Anshar Maloku didirikan oleh seorang tokoh lokal bernama Karaeng Tompo, atau lebih dikenal sebagai Daeng Tompo, pada tahun 1826.
Menurut catatan sejarah, pembangunan masjid ini berawal dari nazar Daeng Tompo. Ia berjanji akan membangun sebuah masjid di atas tanah miliknya jika dikaruniai seorang anak. Nazar tersebut terpenuhi ketika istrinya melahirkan seorang putri yang diberi nama Besse Masigi.
Nama "Masigi" sendiri memiliki makna "masjid" dalam bahasa Ternate dan Tidore, yang mungkin menunjukkan pengaruh budaya Maluku dalam penamaan tersebut.
Pembangunan masjid dilakukan di atas fondasi sebuah mushala tua dan pemakaman kuno di Kampung Maloku, yang kala itu merupakan kawasan perdagangan ramai di dekat Pelabuhan Makassar.
Awalnya, masjid ini hanya berukuran kecil, sekitar 10x10 meter persegi, dengan beberapa tiang penyangga kayu yang hingga kini masih berdiri kokoh di tengah ruang utama masjid. Salah satu tiang utama menjadi penyangga awal bangunan, mencerminkan kesederhanaan namun kekuatan desain awal masjid ini.
Masjid ini juga memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Ternate. Di belakang masjid terdapat makam keluarga Daeng Tompo, termasuk makam seorang bangsawan Ternate yang disebut sebagai Sultan Ternate bersama istrinya.
Hingga kini, pihak Kesultanan Ternate masih menjaga hubungan dengan masjid ini, dengan sering mengirimkan utusan untuk berziarah ke makam leluhur mereka. Prasasti pemberian Sultan Ternate pada tahun 1858 juga menjadi salah satu artefak bersejarah yang terpampang di masjid, meskipun versi aslinya disebut telah diganti. Selain itu, empat tiang kayu penyangga yang disumbangkan oleh Sultan Bima turut memperkaya nilai sejarah masjid ini.(*)
Andi Muhammad Syafrizal (Unhas TV)