Polhum

Meme Politik: Antara Kritik Demokratis, Satire, Lucu, dan Etika di Dunia Digital

UNHAS.TV - Sebuah meme yang menggambarkan dua tokoh politik nasional tengah berinteraksi dalam visual satir kembali memantik perdebatan publik.

Viral di berbagai platform media sosial, meme tersebut memunculkan dua kutub opini: satu menganggapnya tidak pantas dan merendahkan martabat tokoh, sementara yang lain membelanya sebagai bentuk kritik politik yang sah dalam sistem demokrasi.

Fenomena ini menyoroti satu kenyataan penting dalam dinamika demokrasi digital: meme bukan sekadar hiburan visual.

Di tangan warganet, terutama generasi muda, ia menjelma menjadi alat ekspresi politik yang kuat, cepat, dan memikat.



Meme Politik yang sempat viral. (sumber IG @mpujayaprema)


“Kritik lewat meme itu penting karena jadi senjata alternatif,” kata Rachmad Ramadhan Alhidayat, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin, kepada UNHAS.TV.

"Di negara demokrasi, kita punya hak menyampaikan pendapat, dan banyak kebijakan yang menurut saya tidak pro rakyat. Meme bisa jadi penyeimbang," lanjutnya.

Rachmad aktif menyuarakan opini sosial-politik melalui meme yang diunggahnya di akun Instagram pribadinya.

Menurutnya, bahasa visual dalam meme lebih mudah menarik perhatian, terlebih di era informasi yang serba cepat. “Kita butuh media yang cepat dikonsumsi tapi tetap punya pesan,” ujarnya.

Namun tidak semua pihak sepakat dengan bentuk penyampaian itu. Faizur Ridho, mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin, menilai bahwa meme seringkali menyederhanakan isu yang kompleks.

“Memang lebih mudah diakses dan dicerna, tapi masalahnya meme itu seringkali tidak memuat kritik secara utuh. Akibatnya bisa disalahartikan atau dianggap menghina,” jelas Faizur.

Pernyataan Faizur mencerminkan dilema antara ekspresi bebas dan tanggung jawab etika. “Kritik bukan berarti bebas menghina. Di situlah pentingnya etika digital,” tambahnya.

Dalam sistem demokrasi, kebebasan berpendapat dijamin, tetapi ekspresi itu tetap harus mempertimbangkan norma sosial dan keakuratan informasi. 

Bentuk Jurnalisme Partisipatif



Meme Politik yang sempat viral. (sumber IG @mpujayaprema)


Peneliti media digital dari Universitas Indonesia, Devi Asmarani, dalam artikelnya di The Conversation menyebut bahwa meme politik adalah bentuk "jurnalisme partisipatif" yang memungkinkan masyarakat mengomentari isu-isu penting secara langsung.

Namun, ia mengingatkan bahwa bentuk ini rawan bias dan misinformasi. “Meme seringkali hanya menampilkan separuh kenyataan, dan itu bisa menyesatkan publik,” tulisnya.

Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia. Dalam studi yang dilakukan Pew Research Center pada 2021, ditemukan bahwa 53% anak muda di Amerika Serikat menggunakan meme sebagai sumber informasi politik.

Di Indonesia, survei Katadata Insight Center pada 2023 mencatat bahwa 41% responden usia 18–25 tahun menyatakan pernah mendapatkan informasi politik dari meme yang beredar di media sosial.

Menanggapi tren ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat mengeluarkan imbauan pada Pemilu 2024 agar kampanye digital, termasuk meme, tetap menjunjung tinggi etika, tidak menyebar hoaks, dan tidak menyerang pribadi kandidat.

Hal ini menjadi penting seiring meningkatnya penggunaan platform seperti TikTok dan Instagram dalam kampanye politik.

Meski demikian, Faizur Ridho menyebutkan, fenomena meme politik harus diiringi dengan peningkatan kemampuan literasi digital masyarakat.

“Jangan hanya bisa membuat dan menyebarkan meme. Masyarakat juga harus bisa membedakan mana kritik yang konstruktif dan mana yang provokatif,” ujarnya.

Meme memang tetap memiliki kekuatan yang sulit dibendung. Dengan gaya sarkasme dan satire yang jenaka, ia mampu menyuarakan kegelisahan publik yang kerap luput dari pemberitaan media arus utama.

Dalam dunia yang semakin penuh informasi, meme menjadi suara kecil yang bisa menggema besar—asal tidak melanggar batas.

Ruang ekspresi memang terbuka lebar dalam sistem demokrasi, tetapi siapa pun yang mengisinya dituntut cerdas dan bertanggung jawab.

Meme bisa menjadi jembatan antara rakyat dan kekuasaan, atau justru menjadi jurang yang memperlebar kesalahpahaman. Semuanya kembali kepada cara kita menggunakannya.

Sebagaimana yang disampaikan Devi Asmarani, di era digital ini, kritik politik tak lagi terbatas pada ruang debat atau tulisan panjang.

Kadang, satu gambar disertai teks singkat bisa mengguncang opini publik—dan di sanalah tantangan dan peluang demokrasi digital hari ini diuji.

(Rizka Fraja / Unhas.TV)