Sebuah disertasi di Departemen Antropologi, Universitas Indonesia, membahas umpatan “Anjing!” di pertandingan sepak bola. Seperti apakah?
***
MALAM itu, tribun selatan Stadion Gelora Bung Karno bergemuruh. Puluhan ribu suara menyatu dalam satu irama yang tak bisa ditemukan di ruang publik mana pun. Di tengah teriakan dan kibaran bendera, satu kata terdengar berulang—keras, lantang, dan menggigit: “Anjing!”
Kata itu bukan sekadar umpatan. Ia menjelma menjadi mantra kolektif, meledak dari dada para suporter yang menumpahkan seluruh emosi dalam pertandingan antara Indonesia dan Bahrain.
Bagi Faridhian Anshari, akademisi sekaligus pengamat perilaku suporter, inilah panggung tempat bahasa berubah menjadi tubuh, dan tubuh menjadi identitas.
Disertasi berjudul “Menganjingkan Manusia” yang ditulisnya di Departemen Antropologi, Universitas Indonesia (UI) ini, membongkar lapisan-lapisan makna di balik umpatan yang kerap dianggap sekadar luapan kemarahan.
“Saya ingin tahu,” katanya dalam disertasi, “apa sebenarnya yang terjadi ketika seseorang berteriak ‘anjing’ dari tribun?" Jawabannya lebih kompleks dari yang diduga.

Faridhian menghabiskan tiga tahun untuk menyelami kehidupan suporter: 52 pertandingan, 10 stadion, dan ribuan suara yang tumpah ruah dalam satu atmosfer.
Ia menyamar, mencatat, bahkan membuat eksperimen sosial seperti “Mystery Box” untuk menguji persepsi terhadap kata ‘anjing’. Ia menyimpulkan bahwa umpatan tidak muncul tiba-tiba, tapi dipelajari, diwariskan, dan dihidupi.
“Umpatan adalah bentuk komunikasi emosional dan simbolik,” tulisnya. Dalam banyak komunitas suporter, kata-kata kasar menjadi ritus peralihan—semacam tiket masuk ke dalam ikatan batin yang tak tertulis. Chant seperti “Lawan kita Anjing!” tak sekadar menghina lawan, tapi memperkuat rasa “kami”, memisahkan mereka dari “musuh”.
Umpatan juga menunjukkan siapa yang benar-benar bagian dari komunitas. Mereka yang berani berteriak adalah mereka yang telah larut dalam ritme emosional kelompok. Dalam tribun, umpatan adalah bentuk cinta yang radikal—terhadap tim, terhadap kebersamaan, bahkan terhadap kebebasan diri sendiri.
Atmosfer, Tubuh, dan Kuasa
Faridhian meminjam lensa fenomenologi dan antropologi simbolik untuk melihat lebih dalam. Ia tak hanya melihat kata, tetapi juga tubuh yang melonjak, tangan yang terangkat, mata yang menyala. Stadion menjadi semacam ritus liminal, tempat norma sosial dilonggarkan dan identitas dilahirkan ulang.
"Umpatan dalam stadion itu performatif," tulisnya. "Ia membentuk atmosfer, menciptakan tekanan emosional, dan mempengaruhi persepsi lawan." Dalam kerangka ini, umpatan seperti ‘anjing’ bukan hanya penghinaan, tapi strategi atmosferik yang kolektif dan terorganisir—disuarakan capo, dituliskan di spanduk, digemakan dalam tifo.
Menariknya, umpatan yang terdengar kasar justru bisa mencegah kekerasan fisik. Ia menjadi saluran katarsis, medium pelepasan tekanan sosial yang menumpuk di kehidupan sehari-hari. Di stadion, seorang pekerja serabutan dan seorang akademisi bisa sama-sama berteriak “anjing!”, dan untuk sesaat, mereka setara.
Antara Dehumanisasi dan Solidaritas
Namun umpatan tidak steril. Kata ‘anjing’ membawa beban historis dan kultural yang dalam—dari pengaruh kolonialisme Belanda hingga tabu agama. Ia adalah simbol dehumanisasi, yang menjatuhkan lawan ke posisi binatang, tak layak dihormati.
Tapi justru di sinilah letak paradoksnya. Dalam komunitas yang sama, umpatan bisa menjadi tanda kedekatan. Kata yang sama bisa berarti penghinaan atau keakraban, tergantung arah dan konteks. Faridhian menyebutnya sebagai “simbol kosong” (empty signifier), yang maknanya dibentuk bukan oleh kata itu sendiri, melainkan oleh situasi sosial di mana ia dilontarkan.
Dengan pendekatan ini, Faridhian menggeser cara kita memandang umpatan. Ia bukan sekadar ekspresi kotor, tapi alat politik identitas, kanal emosi, dan sekaligus bagian dari negosiasi kekuasaan dalam ruang publik.
Salah satu temuan penting dari studi ini adalah bahwa pelarangan total terhadap umpatan justru bisa kontraproduktif. Tanpa saluran emosional yang sah, ketegangan bisa meluber menjadi kekerasan fisik. “Alih-alih direpresi, umpatan perlu dipahami dan dikelola,” tulisnya.
Ia mengusulkan pendekatan edukatif dan kontekstual dalam pengelolaan stadion. Di sinilah negara, klub, dan aparat harus lebih peka. “Suporter bukan hanya konsumen,” katanya. “Mereka produsen budaya. Dan budaya mereka tak bisa dibungkam, hanya karena dianggap kotor.”
Salam Olahraga, Salam Budaya
Disertasi ini adalah gabungan antara riset yang ketat dan empati yang dalam. Faridhian bukan sekadar peneliti. Ia suporter, pejalan di antara suara, tubuh, dan emosi yang mendidih di stadion.
Ia menyebut karyanya sebagai upaya “membaca pertunjukan sosial”—tentang bagaimana satu kata bisa menyatukan ribuan orang, sekaligus mengungkap luka dan harapan dalam satu tarikan napas.
Dan di tribun itulah, di antara gemuruh dan umpatan, kita bisa menangkap satu kebenaran: bahwa bahkan kata paling kasar pun bisa menyimpan cinta, luka, dan identitas yang tak terucap. Dan barangkali, di balik teriakan ‘anjing’, tersimpan suara manusia yang ingin didengar.