Kesehatan
Pendidikan

Microsleep dan Risiko Besar dari Tidur yang Tak Berkualitas

UNHAS.TV - Kalian mungkin pernah melihat peristiwa seperti ini di jalan raya; sepeda motor tampak oleng sesaat, atau mobil jalan 'meleng' ke sisi lain, sebelum pengemudinya kembali siuman.

Ya, pengemudi tertidur sesaat. Ada juga matanya terbuka. Tapi pikirannya entah di mana. Hanya dalam hitungan detik, nyawa hampir melayang.

Itulah microsleep — tidur singkat yang berlangsung 1 hingga 30 detik, kerap kali terjadi tanpa disadari. Kondisi ini bisa terjadi meski mata tetap terbuka dan tubuh masih melakukan aktivitas seperti biasa.

“Microsleep adalah tanda darurat tubuh bahwa kita sedang sangat kelelahan,” kata dr. Raissa Alfaatir Heri, SpN, dokter spesialis saraf, dalam wawancara dengan Unhas.TV, pekan lalu.

Dokter Alfaatir menyebut bahwa microsleep paling sering dipicu oleh kurang tidur atau kualitas tidur yang buruk.

Meski seseorang merasa telah tidur selama enam jam lebih, jika tidurnya terputus-putus atau diselingi gangguan napas seperti ngorok berat (sleep apnea), maka otak tidak mendapatkan oksigen dan istirahat yang cukup.

Akibatnya, otak “mematikan” sebagian fungsinya secara refleks—menyerupai tombol darurat.

“Microsleep itu seperti ‘reboot’ instan yang dilakukan otak ketika tubuh dipaksa terus bekerja,” katanya.

“Sebagian otak tertidur, sebagian lagi masih terjaga. Karena itu kadang cuma beberapa detik, lalu sadar lagi.”

Risiko yang Tak Sepele

Bahaya microsleep tak bisa diremehkan. Sebuah studi di Nature and Science of Sleep (2012) menunjukkan bahwa microsleep meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas hingga tujuh kali lipat, terutama pada pengemudi yang mengalami gangguan tidur atau bekerja shift malam.

Bahkan dalam bidang medis, sejumlah kesalahan prosedur terjadi akibat tenaga kesehatan mengalami episode microsleep saat jaga malam.

Data dari American Academy of Sleep Medicine (2020) juga mengungkap bahwa sekitar 20 persen kecelakaan lalu lintas fatal di Amerika Serikat berhubungan dengan kantuk berat dan kemungkinan microsleep.



Dokter Spesialis Saraf dr Raissa Alfaathir Heri SpN. (dok unhas.tv)


Di Indonesia, data sejenis memang belum tersedia secara sistematis. Namun laporan dari Korlantas Polri menyebut kelelahan pengemudi sebagai salah satu penyebab utama kecelakaan lalu lintas. Pada konteks ini, microsleep adalah pelaku senyap yang sering tak dikenali.

Menurut dr. Faathir, penyebab paling umum dari microsleep adalah insomnia—kesulitan tidur di malam hari. Faktor lain yang memperburuk kualitas tidur adalah konsumsi kafein larut malam, olahraga berat sebelum tidur, serta makan terlalu larut malam.

Semua kebiasaan itu mengganggu ritme sirkadian, jam biologis tubuh yang mengatur kapan kita harus tidur dan bangun.

“Tidur yang baik itu tidak hanya cukup durasinya, tapi juga utuh dan tidak terpecah-pecah,” kata dia.

Durasi ideal bagi orang dewasa, lanjut Raisa, adalah 6 hingga 9 jam per malam, dengan tidur yang berkesinambungan, tidak terbangun berkali-kali, dan tanpa gangguan pernapasan.

Perlu Pemeriksaan Klinis

Jika perubahan gaya hidup tak membantu, Raisa menyarankan untuk berkonsultasi ke ahli saraf atau dokter tidur. Dalam beberapa kasus, pasien membutuhkan terapi tambahan atau bahkan pengobatan ringan agar tubuh bisa memasuki fase tidur dalam dan memperbaiki siklus istirahatnya.

“Jangan anggap remeh kalau siang-siang sering tiba-tiba blank atau merasa kepala berat padahal sudah tidur,” ujarnya.

Studi dari Journal of Clinical Sleep Medicine (2018) mendukung pendekatan ini. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terapi kognitif-perilaku untuk insomnia efektif meningkatkan kualitas tidur dan menurunkan frekuensi episode microsleep pada pasien dengan gangguan tidur menahun.

Microsleep memang hanya sekejap. Tapi dampaknya bisa fatal. Mobil menabrak, tangan tergelincir saat mengoperasikan mesin, atau bahkan tubuh terjatuh dari tempat tinggi. Sekejap yang bisa membawa sesal seumur hidup.

“Tubuh kita itu punya alarm. Tapi sering kita abaikan,” kata dokter Faathir. “Microsleep adalah alarm keras dari tubuh bahwa kita sudah terlalu memaksa.”

Sebelum tubuh menyerah, tak ada salahnya mengalah sejenak. Tidur yang berkualitas bukanlah kemewahan, tapi kebutuhan dasar. Jika tidak, maka satu detik saja bisa jadi harga yang terlalu mahal.

(Andi Putri Najwa / Muhamad Syaiful / Unhas.TV)