JAKARTA, UNHAS.TV - Pemerintah terus mengupayakan kebijakan transformasi energi yang inklusif dan berkeadilan. Salah satu langkah strategis yang tengah didorong adalah kebijakan LPG 3 Kg Satu Harga.
Kebijakan itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "LPG Satu Harga: Implementasi Kebijkan LPG 1 Harga", yang digelar di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Pemerintah membuka ruang dialog bersama berbagai pemangku kepentingan. Acara ini dipandu oleh Tina Talisa, Staf Khusus Wakil Presiden RI, yang juga bertindak sebagai moderator. Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan energi nasional dan memastikan subsidi energi tepat sasaran.
“Melalui FGD ini, pemerintah ingin mendengar langsung insight dan rekomendasi dari perguruan tinggi, Pertamina, YLKI, BPS, serta lintas kementerian. Harapannya, kebijakan ini benar-benar implementatif dan berdampak langsung bagi kelompok sasaran,” ujar Tina Talisa.
Acara ini dibuka secara resmi oleh Mirza Mahendra, Direktur Usaha Hilir Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dalam arahannya, Mirza menegaskan urgensi reformasi kebijakan subsidi LPG agar menyentuh kelompok yang paling membutuhkan, seperti rumah tangga miskin, usaha mikro, nelayan, dan petani.
“Kami butuh masukan konkret terkait inisiasi LPG satu harga ini. Tujuan utamanya adalah agar subsidi yang diberikan negara dapat dirasakan oleh masyarakat yang benar-benar berhak,” tegas Mirza.
Dalam diskusi, berbagai persoalan mencuat ke permukaan, mulai dari harga LPG 3 kg yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) di berbagai wilayah, hingga konsumen yang tidak tepat sasaran. Distribusi yang tidak merata, khususnya di daerah tertinggal, terluar, dan terpencil (3T), menjadi perhatian utama.
Salah satu narasumber FGD, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Dr Andi Nur Bau Massepe, turut memberikan pandangan kritis terhadap akar persoalan subsidi LPG 3 kg.
“Masalah paling mendasar dalam implementasi kebijakan subsidi LPG adalah tidak akuratnya basis data penerima. Selama masyarakat kelas menengah masih bebas membeli LPG 3 kg, maka subsidi akan terus salah sasaran,” jelas Nur Bau Massepe, yang juga pemegang sertifikasi kompetensi Certified Rural Bank Commissioner (CRBC).
Menurutnya, dibutuhkan sistem informasi yang andal dan terintegrasi, untuk mengidentifikasi siapa saja yang berhak menerima subsidi, serta untuk memantau logistik ketersediaan dan pendistribusian LPG secara tepat wilayah,khususnya daerah 3 T.
“Perlu pembenahan sistem pendataan dan distribusi secara menyeluruh. Ini akan sangat membantu Pertamina dalam memproduksi, menyalurkan, dan mengendalikan LPG sesuai kebutuhan daerah,” tambahnya.
"Kami sebagai salah satu akademisi dari Unhas mengapresiasi Kementerian ESDM yang telah mengundang para akademisi untuk memberikan saran dan masukan sebelum kebijakan diimplementasikan. Ini menunjukkan komitmen Pemerintah yg kuat dalam melaksanakan Evidence-based policy making," ujar Andi Nur.
FGD ini turut menghadirkan akademisi dari sejumlah universitas terkemuka seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, ITB, Universitas Airlangga, serta perwakilan dari YLKI, INDEF, dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Diskusi berjalan dinamis dengan penekanan pada perlunya integrasi data sosial ekonomi, transparansi distribusi, serta inovasi teknologi dalam pelaksanaan kebijakan subsidi LPG ke depan. (*)