Internasional
Unhas Speak Up

Perang Iran-Israel dan Amerika Serikat, Apa Sebenarnya yang Terjadi di Balik Layar?




Akademisi Departemen Hubungan Internasional Unhas Agussalim Burhanuddin PhD (dok uhas.tv)


Agussalim juga menyoroti dinamika internal politik Amerika Serikat. “Saya melihat Trump tidak serius menghentikan program ini. Banyak pihak, bahkan dalam Partai Republik, tidak menginginkan AS terlibat dalam perang Iran-Israel."

"Namun ada tekanan dari kelompok Zionis, khususnya AIPAC. Meskipun demikian, menurut saya, Trump tetap tidak sepenuhnya terikat”.

Dirinya juga menegaskan bahwa kemampuan senjata nuklir perlu dipahami secara utuh. “Senjata nuklir ada dua: untuk sipil dan militer. Selain lima negara pemenang Perang Dunia II (AS, Rusia, China, Inggris, Prancis), ada India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara yang juga memiliki senjata nuklir”, jelasnya.

Iran sendiri masih terikat oleh Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) 1968, tidak seperti Israel yang tidak pernah menandatangani, dan Korea Utara yang mundur sejak 2003.

Namun, Agussalim menyampaikan kekhawatiran. Ia menilai bahwa tekanan militer justru berisiko mengubah posisi Iran secara hukum internasional. 

“Iran selama ini menunjukkan komitmen terhadap perdamaian dunia dengan tetap menjadi anggota NPT. Namun jika terus diserang, sangat mungkin mereka merasa tidak ada gunanya terikat pada perjanjian internasional yang justru membuat mereka rentan”, tegasnya.

Jika Iran mundur dari NPT, maka dunia akan menghadapi satu lagi negara bersenjata nuklir tanpa pengawasan internasional. “Ini bukan hanya soal Timur Tengah, tapi soal keamanan global,” ujarnya.

Agussalim menjelaskan bahwa hukum internasional bersifat voluntary atau sukarela, berbeda dengan hukum nasional yang mengikat.

“Tidak ada paksaan bagi negara untuk ikut perjanjian internasional. Tapi jika mereka ikut, itu menunjukkan komitmen terhadap aturan global. Ironisnya, negara seperti Israel yang tidak ikut NPT justru punya senjata nuklir, sementara Iran yang ikut justru ditekan”.

Terakhir, ia menekankan bahwa senjata nuklir memiliki fungsi deterrence, mencegah perang, bukan untuk digunakan. 

“Senjata nuklir hanya berguna ketika tidak digunakan. Jika sebuah negara hampir kalah total, maka senjata nuklir digunakan sebagai opsi terakhir. Itu artinya kehancuran bersama”, tutupnya. 

(Zulkarnaen Jumar Taufik / Unhas.TV)