KUPANG, UNHAS.TV- Pertemuan sederhana di sebuah aula di Kupang, Nusa Tenggara Timur, tatapan puluhan peserta dari berbagai dinas kesehatan mengarah ke layar presentasi. Di depan mereka, berdiri sosok sederhana namun penuh semangat: Muhammad Rachmat, dosen dari Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas). Hari itu, Rachmat tidak hanya membawa slide presentasi. Ia membawa misi: mengubah angka-angka statistik menjadi kekuatan untuk menggerakkan perubahan perilaku di tengah masyarakat.
Rachmat adalah satu dari segelintir akademisi yang dipercaya menjadi fasilitator dalam Workshop Manajemen dan Analisis Data Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan RI melalui Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan. Dukungan penuh dari Global Fund – ATM Komponen Malaria menjadikan workshop ini menjangkau 22 provinsi lintas pulau — dari Kalimantan hingga Papua, dari Maluku hingga Sulawesi.
“Data tidak boleh berhenti di laporan. Data harus mengalir menjadi aksi nyata,” ujar Rachmat membuka sesi pelatihannya. Kalimat itu menjadi denyut nadi dari materi yang ia bawakan: “Komunikasikan Data untuk Perubahan Perilaku.”
Tak hanya di Kupang, Rachmat sebelumnya telah mengisi workshop serupa di Balikpapan (30 April 2025) dan Sorong (12 Juni 2025). Berkeliling dari satu pulau ke pulau lain, ia tidak sekadar menyampaikan teori. Ia mengajak para petugas kesehatan untuk menjadikan data sebagai bahasa yang menyentuh masyarakat, sebagai pijakan dalam mengambil keputusan, dan sebagai alat untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa.
“Seringkali kita sibuk mengumpulkan data, tapi lupa bagaimana menjadikannya hidup,” lanjutnya. Di setiap sesinya, ia membimbing para peserta — yang berasal dari dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota, hingga Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kekarantinaan Kesehatan — untuk menyusun narasi berbasis data. Ia mengajarkan bagaimana angka kematian bisa menjadi alasan kuat mendorong penggunaan kelambu antimalaria, atau bagaimana tren penyakit bisa menjadi argumen yang menyentuh hati masyarakat untuk melakukan imunisasi.
Khusus di Kupang, Rachmat ditemani oleh Manjilala dari Poltekkes Kemenkes Makassar. Mereka berdua membagi pengalaman bagaimana mengubah komunikasi data yang awalnya hanya berupa angka-angka rumit menjadi kampanye kesehatan yang hidup, mudah dipahami, dan menggerakkan.
“Ini bukan tentang data semata, tapi bagaimana data bisa membuat orang bergerak,” ucap Rachmat di akhir sesi.
Bagi para peserta, pelatihan ini membuka cara pandang baru. “Biasanya kami hanya melihat data sebagai laporan rutin. Sekarang saya sadar data bisa menjadi alat perubahan,” kata seorang peserta dari Dinas Kesehatan Kabupaten Rote Ndao.
.webp)
Muhammad Rachmat (kiri), dosen Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM Unhas, bersama Manjilala (kanan) dari Poltekkes Kemenkes Makassar, saat menjadi fasilitator dalam Workshop Manajemen dan Analisis Data SKDR di Kupang (17 Juli 2025). Kegiatan ini memperkuat kapasitas petugas kesehatan provinsi, kabupaten/kota, dan UPT kekarantinaan kesehatan dalam mengkomunikasikan data untuk perubahan perilaku, sebagai bagian dari program nasional Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes RI dengan dukungan Global Fund ATM Malaria. Kredit: FKM Unhas.
Kegiatan ini adalah bagian dari upaya besar Kementerian Kesehatan untuk memastikan sistem kewaspadaan dini tidak hanya berfungsi mengawasi penyakit, tetapi juga mampu mendorong intervensi yang lebih efektif. Dengan keterlibatan mitra seperti Risk Communication and Community Engagement (RCCE+), para tenaga kesehatan daerah diperlengkapi dengan keterampilan strategis untuk mengkomunikasikan data secara efektif — baik melalui media massa maupun dalam interaksi tatap muka.
Di balik perjalanan lintas provinsi yang melelahkan, Muhammad Rachmat menyimpan harapan besar. Harapan bahwa ketika data dipahami sebagai alat perubahan, kesehatan masyarakat Indonesia akan semakin membaik. Dari Kupang hingga Sorong, dari Balikpapan hingga pelosok negeri lainnya, ia dan para tenaga kesehatan lainnya berjalan membawa satu pesan sederhana: Data bisa menyelamatkan jiwa, asalkan mampu dikomunikasikan dengan hati.(*)