UNHAS.TV — Di balik wajah tenang dan senyum ramah Prof. dr. Veni Hadju, MSc., Ph.D., tersimpan semangat yang menggelegak. Ia bukan hanya guru besar Ilmu Gizi Universitas Hasanuddin, tetapi juga salah satu figur penting dalam perang melawan stunting di Indonesia. Sebuah perang yang tak terdengar dentumnya, namun menentukan masa depan bangsa.
Stunting, menurut Prof. Veni, adalah tanda luka panjang yang tak kentara: gizi yang terabaikan, pendidikan yang terbatas, dan warisan mitos yang tak selesai dipertanyakan. “Ini bukan sekadar anak yang pendek. Ini adalah kegagalan kolektif,” ujarnya.
Periode Emas yang Sering Terlupakan
Konsep 1000 Hari Pertama Kehidupan—dari awal kehamilan hingga anak berusia dua tahun—menjadi medan utama dari perjuangan ini. Dalam kurun waktu itulah organ vital terbentuk, termasuk otak yang berkembang pesat. “Jika gagal di masa ini, kita sedang merancang keterbatasan masa depan seseorang,” kata Prof. Veni.
Ia mengisahkan bagaimana penelitian awal tentang hubungan gizi dan penyakit degeneratif berakar dari kajian di Inggris oleh Dr. David Barker pada 1990-an. “Ternyata, kekurangan gizi saat janin bisa menyebabkan kematian dini di usia dewasa akibat jantung atau hipertensi. Semua bermula dari rahim,” tegasnya.
Sayangnya, masih banyak ibu hamil yang menyepelekan gizi. Beberapa bahkan sengaja mengurangi makan karena takut terlihat gemuk. “Ada yang ingin tetap pakai celana jeans saat hamil. Padahal, saat itulah tubuh sedang membentuk manusia,” ucap Prof. Veni prihatin.
Lebih menyedihkan, mitos seputar pantangan makanan terus beredar: telur menyebabkan bayi panas, daun kelor membuat persalinan sulit, udang membuat bayi gatal. Akibatnya, protein hewani yang sangat dibutuhkan justru dijauhi.
“Padahal protein hewani—telur, ikan, daging—adalah kunci. Nasi dan tempe saja tidak cukup,” tegasnya.
ASI: Anugerah yang Tak Tertandingi
Salah satu titik terang dalam perjuangan ini adalah ASI. “ASI itu buatan Tuhan. Fresh from the oven. Tidak ada susu formula semahal apapun yang bisa menyainginya,” ujar Prof. Veni dengan senyum bangga.
Ia menyayangkan sistem cuti ibu yang hanya tiga bulan. “Negara maju memberi cuti dua tahun untuk menjamin bayi mendapat ASI penuh. Kita justru sering mengorbankan itu demi tuntutan kerja,” katanya.
Meski begitu, ia tetap optimis karena kini sudah ada teknologi seperti pompa ASI dan lemari pendingin yang mempermudah ibu bekerja tetap menyusui.
Setelah masa ASI eksklusif selama enam bulan, tantangan selanjutnya datang: makanan pendamping ASI (MP-ASI). Namun di banyak daerah, MP-ASI masih sangat sederhana—sekadar pisang atau bubur encer.
“Anak butuh zat gizi yang padat. Bubur harus dicampur protein hewani, sayuran, dan lemak sehat,” jelas Prof. Veni. Ia menyoroti praktik keliru seperti hanya memberi air rebusan daging tanpa isi. Padahal, nutrisinya jauh dari mencukupi.
>> Baca Selanjutnya