Raim La Ode, komika dan penyanyi itu, menggambarkan kehidupannya dalam tiga episode. Mulai dari bab jadi komika di Indosiar, kemudian bab mengenai duka, saat bapaknya meninggal. Setelah itu bab Komang, yang tengah berjalan dan belum selesai.
Belajar dari Bapaknya, dia punya kiat untuk mereka yang menekuni dunia kreatif, agar dapur terus mengepul, agar kehidupan terus berjalan. Seperti apakah?
***
Di tengah keramaian Jakarta, Raim La Ode, seorang komika dan penyanyi asal Wakatobi, menyusuri perjalanan kariernya yang dipenuhi oleh lika-liku. Pengalaman hidupnya disusun dalam bab-bab yang menggambarkan sebuah konsep menarik: setup dan punchline.
Bagi Raim, hidup adalah serangkaian ekspektasi dan kenyataan yang kerap tidak sejalan. Layaknya stand-up comedy, ia menyusun cerita dari perjuangan hingga kehilangan, dari kekecewaan hingga keberhasilan.
Bab pertama Raim dimulai dengan kemunculannya di panggung Stand Up Comedy Indosiar pada 2016. Dari daerah kecil di Sulawesi Tenggara, Raim menjejakkan kaki di ibu kota dengan ambisi besar. “Ini adalah bab yang berwarna penuh dengan pelangi. Saya senang sekali. Ambisi saya di sini,” katanya mengenang.
Raim menuturkan betapa gigihnya ia mencoba bertahan di Jakarta. “Arie Kriting bikin apa, saya harus kalahkan. Abdur bikin apa, saya harus kalahkan,” katanya. Kejayaan di Indosiar dianggapnya sebagai punchline dari seluruh usahanya merintis karier.
Namun, yang dianggapnya sebagai puncak ternyata hanyalah sebuah setup dari tragedi besar. Kabar kematian Bapaknya dari Wakatobi menghantamnya dengan keras. “Indosiar yang saya anggap punchline dari perjuangan, ternyata hanya setup dari sedih yang minta ampun.”
Bab kedua, bab duka. Kehilangan Bapaknya menjadi titik balik dalam hidupnya. Raim menyadari bahwa selama ini ia berlari mengejar popularitas dan kesuksesan yang tidak pernah cukup. “Saya capek jadi orang lain. Selama ini saya berusaha mengalahkan orang lain. Padahal musuh terbesar saya adalah diri sendiri,” katanya.
Kematian sang Bapak mengajarkannya bahwa hidup bukanlah soal menunggu kesempatan datang, tetapi soal menciptakan kesempatan. Bapaknya seorang tukang kayu, yang bekerja berdasarkan order.
Sering kali, ada celah di antara masing-masing orderan, sehingga Bapaknya tidak bekerja, sementara keluarga tetap butuh makan. Asap dapur tetap harus mengepul.
Di titik ini, Bapak lalu mengambil inisiatif untuk membuat lemari, kursi, dan meja, lalu dipajang di depan rumah. Sering, orang lewat lalu membelinya. “Ini pelajaran yang saya temukan nanti setelah Bapak meninggal,” kata Raim.
Raim mulai mengadopsi filosofi yang diajarkan Bapaknya. Ketika pekerjaan stand-up sepi, ia menciptakan karya sendiri. Lagu-lagu yang diunggahnya di Spotify, YouTube Music, dan Apple Music menjadi 'lemari-lemari' yang dibuatnya untuk dijual.
Lagu *Komang*, salah satu dari hasil kreasinya, meledak di pasaran. Bagi Raim, menciptakan karya bukan hanya soal menghasilkan uang, melainkan memberi makna dan meninggalkan warisan.
Seperti kata Steve Jobs, “The only way to do great work is to love what you do.” Satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan hebat adalah mencintai apa yang kamu kerjakan. Kalimat ini terpatri dalam prinsip Raim yang kini menciptakan bukan karena ingin dikenal, tetapi karena cinta terhadap proses berkarya.
Namun, bab ketiga belum selesai. Saat ini ia sedang menjalani perjalanan baru, yang disebutnya bab *Komang*. Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, Raim harus pulang kampung karena ibunya sakit.
Ironisnya, ia tengah mempromosikan film *Komang*, yang terinspirasi dari lagu populernya itu. “Saya pulang demi Mama. Biarkan dunia yang menunggu. Saya pegang tangan Mama dan berkata: ‘Doakan film Komang lebaran nanti menjadi film paling laris sepanjang sejarah perfilman Indonesia’.” Doanya tercapai. Kini Komang sudah ditonton lebih 2 juta orang.
Dia memilih untuk menjalani hidupnya dengan prinsip itu. Dunia bukanlah sesuatu yang perlu ia kejar dengan tergesa-gesa. Sebaliknya, ia membuat dunia menunggunya.
Filosofi ini mengubah cara pandangnya terhadap kehidupan. Ia tak lagi mengejar popularitas, melainkan menciptakan karya dengan ketulusan. “Potensi bahagia semakin tinggi ketika ekspektasi semakin rendah,” tuturnya, mantap.
Seperti kata Nelson Mandela, “It always seems impossible until it’s done.” Perjalanan Raim La Ode mengajarkan bahwa hidup adalah seni memahami momen. Bahwa setup bukanlah sekadar rintangan, dan punchline bukanlah akhir dari perjuangan.
Keduanya adalah bagian dari perjalanan besar yang hanya bisa dimengerti bila kita mau terus berjalan dan menemukan makna di setiap bab yang kita tulis.
Seperti kata Maya Angelou, “You may encounter many defeats, but you must not be defeated.” Kalimat ini seakan menggambarkan perjalanan Raim yang terus bangkit dari setiap pukulan hidup. “Kamu mungkin menghadapi banyak kekalahan, tapi kamu tidak boleh dikalahkan.”
Namun bagi Raim, ada satu pelajaran yang paling berharga. “Kalau ada yang bilang saya pintar bikin lagu, pintar bikin joke, atau pintar bikin film, tidak. Saya cuma mahir dalam satu hal, yaitu memuliakan ibu saya.”
Karya terbesarnya bukanlah film, lagu, atau lelucon yang dibawanya. Melainkan cinta dan baktinya pada sang ibu. Dan itulah punchline terindah dalam hidupnya.