Kesehatan
Unhas Speak Up

Satu Swipe, Seribu Dampak: Ancaman Gawai Terhadap Kesehatan Mental Anak di Hari Anak Sedunia

MAKASSAR, UNHAS.TV - Jelang peringatan Hari Anak Sedunia yang diperingati setiap tanggal 23 Juli, penggunaan gawai dan media sosial pada anak menjadi sorotan utama.

Unhas TV, melalui program "Unhas Sehat", menggelar diskusi khusus dengan tema "Satu Swipe, Seribu Dampak: Gawai dan Kesehatan Mental Anak", menghadirkan psikolog Unhas Andi Juwita Amal SPsi MPsi untuk mengupas tuntas dampak teknologi terhadap kesehatan mental generasi penerus.

Diskusi ini membahas secara mendalam seberapa besar gawai memengaruhi tumbuh kembang anak, apa saja yang perlu diwaspadai orang tua, dan solusi yang bisa diterapkan.

Menurut Juwita, daya tarik gawai yang kuat – dari bentuk, warna, hingga suara yang menarik – memberikan kepuasan instan pada anak, yang pada akhirnya dapat memicu kecanduan.

Juwita menjelaskan bahwa durasi penggunaan gawai yang panjang, terutama untuk game dan media sosial, dapat menimbulkan adiksi.

Untuk video pasif, risikonya memang lebih rendah, namun cenderung menurunkan kemampuan atensi dan menghambat perkembangan bahasa karena sifatnya yang satu arah.

Berbeda dengan gim interaktif, Juwita mengakui bahwa game bisa membantu perkembangan kemampuan problem-solving anak, seperti strategi melewati tantangan atau mengalahkan target. Namun, sistem reward yang ada di dalamnya menjadi pemicu utama kecanduan.

"Ketika ada sesuatu yang menantang, biasanya sudah selesai pun masih dipikirkan," jelas Juwita. Hal ini dapat mengganggu pola tidur anak karena otak terus memproses informasi gim, bahkan saat seharusnya beristirahat.

Usia Dini, Risiko Tinggi

Ketergantungan pada gawai sangat dipengaruhi oleh seberapa cepat anak dikenalkan pada teknologi. Juwita menyoroti fenomena orang tua generasi kini yang cenderung mengasuh anak dengan gawai sejak usia dini.

"Semakin cepat diberikan, semakin cepat ketergantungan, dan berarti semakin cepat juga merusak anak," tegasnya.

Secara khusus, usia 0-2 tahun sangat tidak disarankan untuk terpapar gawai. Pada fase ini, otak anak berkembang sangat pesat dan menyerap informasi.

Paparan gawai yang berlebihan dapat menyebabkan overstimulasi dan menghambat perkembangan yang seharusnya berjalan baik. Namun, pengecualian diberikan untuk video call dengan durasi terbatas (15-30 menit), karena dapat melatih interaksi dan membangun ikatan dengan kerabat jauh.

Juwita menjabarkan beberapa gejala yang menunjukkan gawai mulai memengaruhi kesehatan mental anak. Dari sisi perilaku, anak yang tantrum saat gawainya diambil menunjukkan pengendalian diri yang buruk.

Gejala ini bisa berupa membandingkan diri, merusak barang, hingga mengabaikan waktu makan, mandi, atau belajar. Secara emosional, anak mungkin mudah marah atau sedih jika tidak mendapatkan gawai.

Anak juga cenderung kehilangan minat pada aktivitas offline, seperti bermain dengan teman atau berkumpul dengan keluarga, lebih memilih gawainya. Dampak fisik juga terlihat, mulai dari postur tubuh yang mengikuti gawai hingga mata kering.

Psikolog Juwita juga mengkritik teknik yang sering digunakan orang tua saat ini, yaitu memberikan tontonan pada anak agar mau makan. "Menurut saya pribadi itu tidak tepat," ujarnya.

Idealnya, makan adalah kegiatan yang dilakukan dengan duduk di meja, menyadari apa yang masuk ke tubuh, dan berapa banyak. Jika makan sambil bermain gim atau menonton, anak tidak belajar mindfulness.

Mengakhiri diskusinya, Juwita menyampaikan pesan penting kepada para orang tua. "Teknologi itu adalah sesuatu yang membantu, bukan musuh," katanya.

Namun, dalam penggunaannya, anak-anak membutuhkan pendampingan yang baik. Untuk bisa mendampingi secara efektif, orang tua juga perlu memiliki pengetahuan yang cukup agar dapat berbagi informasi dan membimbing anak dengan benar.

(Amina Rahma Ahmad / Unhas.TV)