UNHAS.TV - Di ruang berpendingin udara di Departemen Biokimia, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dr. Marhaen Hardjo tersenyum tipis sambil mengusap telapak tangannya. “Kadang, meskipun kita tidak bergerak, tubuh tetap bereaksi seperti sedang berlari,” ujarnya pelan.
Ia sedang menjelaskan sebuah fenomena yang sering dianggap sepele, namun bagi sebagian orang bisa menjadi sumber ketidaknyamanan luar biasa: keringat berlebih atau hiperhidrosis.
Keringat pada dasarnya adalah mekanisme pertahanan tubuh. Seperti sistem pendingin pada mesin, tubuh manusia menghasilkan keringat untuk menstabilkan suhu.
Saat panas atau stres, kelenjar keringat bekerja untuk mengeluarkan cairan ke permukaan kulit, membantu tubuh mendingin lewat proses penguapan. Namun, sistem yang seharusnya bekerja hanya saat dibutuhkan ini terkadang berlebihan.
Menurut dr. Marhaen, kondisi tersebut berakar pada aktivitas berlebih sistem saraf simpatik, bagian dari sistem saraf otonom yang mengontrol fungsi tubuh tanpa disadari—seperti detak jantung, tekanan darah, dan keringat.
“Pada beberapa orang, kelenjar keringat di tangan atau ketiak bisa tetap aktif meskipun suhu tubuh normal dan tidak ada aktivitas berat,” jelasnya. “Saraf-saraf di area itu seperti terus mengira tubuh sedang membutuhkan pendinginan.”
Ketika Saraf Tidak Mengenal Istirahat
Kondisi ini dikenal sebagai hiperhidrosis primer, biasanya muncul tanpa sebab yang jelas. Faktor genetik bisa berperan—sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hingga 60 persen penderita memiliki riwayat keluarga dengan gejala serupa.
Pada kasus lain, hiperhidrosis juga dapat bersifat sekunder, yakni akibat penyakit lain seperti diabetes, gangguan tiroid, atau efek samping obat-obatan tertentu. Namun, untuk sebagian besar orang, penyebabnya tetap misterius.
Sebuah studi dari International Hyperhidrosis Society memperkirakan bahwa sekitar 5 persen populasi dunia mengalami kondisi ini.
Meski tidak mengancam jiwa, efek sosial dan psikologisnya sangat nyata. Telapak tangan yang selalu basah bisa membuat seseorang enggan berjabat tangan, sementara keringat berlebih di wajah bisa menurunkan rasa percaya diri.
Antara Sains dan Psikologi
Saraf simpatik yang terlalu aktif seringkali berhubungan dengan kondisi emosional. Stres, kecemasan, bahkan ekspektasi sosial dapat memicu sistem ini untuk “menyala” seolah-olah tubuh berada dalam keadaan bahaya.

Ketua Departemen Biokimia Fakultas Kedokteran Unhas, dr Marhaen Hardjo MBiomed PhD. (dok unhas.tv)
“Tubuh tidak bisa membedakan stres karena macet di jalan dengan stres karena dikejar harimau,” kata dr. Marhaen sambil tersenyum. “Keduanya sama-sama memicu pelepasan sinyal ke kelenjar keringat.”
Bagi penderita hiperhidrosis, hal ini menjadi siklus yang sulit diputus. Semakin cemas karena berkeringat, semakin banyak keringat yang keluar. Inilah paradoks biologis yang hanya bisa dijelaskan melalui kolaborasi antara ilmu saraf dan psikologi.
Meski belum ada cara untuk “mematikan” saraf simpatik sepenuhnya, berbagai pendekatan medis dapat membantu.
Penggunaan antiperspiran medis berbasis aluminium klorida, obat penghambat saraf, terapi iontophoresis (aliran listrik ringan pada kulit), hingga injeksi botulinum toxin (Botox) menjadi beberapa pilihan terapi.
Namun, menurut dr. Marhaen, langkah sederhana seperti mengelola stres dan menjaga kebersihan tubuh tidak kalah penting.
Meditasi, olahraga ringan, tidur cukup, dan menjaga hidrasi dapat membantu menstabilkan sistem saraf otonom. “Tubuh punya cara sendiri untuk menyeimbangkan dirinya. Kita hanya perlu mendengarkan,” ujarnya.
Keringat sebagai Bahasa Tubuh
Dalam perspektif biokimia, keringat bukan sekadar air garam. Ia adalah campuran kompleks dari air, elektrolit, urea, dan bahkan hormon stres seperti kortisol. Setiap tetes keringat membawa pesan tentang kondisi tubuh.
Penelitian terbaru di Nature Scientific Reports bahkan menunjukkan potensi analisis keringat sebagai alat diagnosis non-invasif, menggantikan sampel darah dalam mendeteksi dehidrasi, stres oksidatif, atau bahkan kadar gula.
Artinya, di balik ketidaknyamanan yang dirasakan oleh penderita hiperhidrosis, ada peluang besar untuk memahami lebih dalam komunikasi antara saraf dan tubuh manusia.
Keringat adalah bahasa tubuh paling jujur. Ia muncul tanpa kita minta, berbicara dalam diam tentang bagaimana sistem saraf bekerja untuk melindungi kita, kadang terlalu keras, kadang terlalu cepat.
Seperti kata dr. Marhaen, “Kalau tubuh terus berkeringat tanpa sebab, mungkin itu caranya berkata: aku terlalu waspada.”
Dan mungkin, saat itu terjadi, yang kita butuhkan bukan hanya pengobatan—tetapi juga jeda, untuk memberi ruang bagi tubuh agar kembali tenang.
(Venny Septiani Semuel / Unhas.TV)
 HIPERHIDROSIS. Ilustrasi seorang wanita tengah berkeringat secara berlebihan mengalami hiperhidrosis. (dok freepick)
                                                                    HIPERHIDROSIS. Ilustrasi seorang wanita tengah berkeringat secara berlebihan mengalami hiperhidrosis. (dok freepick)
                                                            -300x166.webp)





-300x141.webp)


 
                         
                        