MAKASSAR, UNHAS.TV - Pernahkah Anda membayangkan naik pesawat dan mendarat langsung di atas laut? Gagasan futuristik itu kini tengah disiapkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) melalui proyek Seaplane atau pesawat amfibi yang dapat mendarat di permukaan laut, danau, bahkan sungai.
Pemprov Sulsel telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 17 miliar dari APBD 2025 untuk merintis pengoperasian Seaplane pertama di Indonesia kawasan timur.
Proyek ini akan berbasis di Center Point of Indonesia (CPI), Makassar, dan ditargetkan mampu membuka akses menuju pulau-pulau tertinggal, terluar, dan terdepan, seperti Kepulaun Selayar, Bulukumba, dan Pangkep.
Akademisi Teknik Kelautan Universitas Hasanuddin (Unhas) Dr Ir Chairul Paotonan ST MT merespon rencana proyek pemerintah ini. Chairul mengatakan, Seaplane merupakan pesawat dengan kemampuan lepas landas dan mendarat di permukaan air.
"Seaplane ini pada dasarnya adalah pesawat yang bisa landing dan take off di laut, danau, ataupun sungai yang memenuhi syarat. Ada dua jenis: flying boat dan floatplane. Bahkan ada yang amfibi, bisa mendarat di darat dan di air karena dilengkapi roda," jelasnya saat menjadi narasumber dalam Unhas Speak Up.
Kata Ketua Departemen Teknik Kelautan ini, kehadiran Seaplane sangat relevan untuk kondisi geografis Sulawesi Selatan yang memiliki ratusan pulau. Beberapa di antaranya sulit dijangkau dengan transportasi laut konvensional.
"Kalau pakai kapal bisa belasan jam. Sementara Seaplane punya kecepatan hingga 370 km/jam. Sangat cocok untuk wisata, bisnis perikanan, atau pengiriman hasil laut bernilai tinggi yang butuh kecepatan," tambahnya. Seaplane dan kapal laut tidak saling menggantikan, melainkan menyasar segmen pasar berbeda, tegas Chairul.
Meski menjanjikan, pengoperasian Seaplane di Sulsel juga menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah faktor cuaca, seperti tinggi gelombang dan kecepatan angin.
"Tapi kondisi itu bisa diantisipasi dengan jadwal operasional. Apalagi Sulsel punya musim timur dan barat, serta banyak gugusan pulau yang bisa jadi waterbase terlindung untuk tempat mendarat. Air laut gratis, tinggal kita pilih titiknya," katanya.
Chairul juga menekankan pentingnya kesiapan regulasi dan infrastruktur pendukung. Hingga saat ini, regulasi yang mengatur operasional Seaplane masih belum paripurna karena melibatkan dua ranah: laut dan udara.
"Kalau kita menunggu regulasi lengkap, bisa terlalu lama. Justru kalau sudah ada inisiatif dari pemerintah, masyarakat perlu mendukung," ujarnya.
Pengoperasian Seaplane juga membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang menguasai regulasi kelautan dan penerbangan sekaligus. Selain itu, sarana navigasi khusus di lokasi waterbase atau bandara air juga wajib dipersiapkan.
Meski saat ini belum ada fasilitas permanen, Pemprov Sulsel telah mendapat sinyal positif dari beberapa pihak. Salah satunya adalah kantor Otoritas Pelabuhan Utama Makassar yang menyatakan kesediaannya menyediakan area di Pelabuhan Makassar untuk dijadikan waterbase.
"Dari segi fasilitas, saat ini belum tersedia, tapi bisa diwujudkan karena sudah ada komitmen dari Pemprov. Yang terpenting adalah sinkronisasi perencanaan ruang dan zonasi laut," jelasnya.
Dengan segala potensinya, proyek Seaplane di Sulawesi Selatan diharapkan mampu mempercepat konektivitas wilayah kepulauan, mendorong investasi di sektor perikanan dan pariwisata, serta mempercepat distribusi komoditas unggulan dari pulau-pulau yang sebelumnya terisolasi.
Zulkarnaen Jumar Taufik (Unhas TV)