Kuliner

Sejarah Mie Kering: Warisan Kuliner Angko Tjao di Makassar

MAKASSAR, UNHAS.TV - Mie kering, kuliner khas Makassar yang menggugah selera, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kuliner Sulawesi Selatan. Di balik cita rasa gurih dan tekstur renyahnya, terdapat kisah menarik tentang Angko Tjao, seorang perintis yang meletakkan dasar kepopuleran hidangan ini. 

Artikel ini akan mengupas sejarah mie kering, bagaimana Angko Tjao memulainya, dan warisan yang diteruskan hingga kini. Kisah mie kering bermula pada sekitar tahun 1950-an di kawasan Pecinan, Makassar, ketika seorang warga keturunan Tionghoa bernama Angko Tjao mulai menjajakan masakan Chinese food dari gerobak sederhana di tepi Jalan Bali. 



MIE HENGKI - Pengolahan makanan di Mie Hengki, Jalan Nusantara, Kota Makassar. Foto-Foto: Faizal A Saud.

Angko Tjao, yang dikenal ramah dan komunikatif, menawarkan tiga jenis olahan mie: mie goreng, mie Hokkian, dan mie Kwantong. Ketiganya merupakan hidangan khas Tionghoa yang sudah populer di kalangan masyarakat lokal saat itu.

Namun, keunikan Angko Tjao terletak pada kepekaannya terhadap selera pelanggan. Ia sering menerima permintaan khusus, dan dari sinilah cikal bakal mie kering lahir. Salah seorang pelanggan meminta mie Kwantong disajikan dengan cara berbeda: mie digoreng hingga garing dan disiram kuah kental yang dipisahkan. 

Awalnya, permintaan ini hanya datang dari satu orang, tetapi lambat laun semakin banyak pelanggan yang menyukai inovasi ini. Melihat antusiasme tersebut, Angko Tjao mulai mengembangkan resep mie goreng garing dengan kuah kental sebagai menu baru, yang akhirnya dikenal sebagai "mie kering."

Pada masa itu, mie kering bukanlah sekadar makanan, tetapi juga cerminan akulturasi budaya Tionghoa dan Makassar. Mie yang digoreng hingga renyah memberikan tekstur unik, sementara kuah kental—terbuat dari kaldu ayam, tepung maizena, telur, dan berbagai bumbu—menambah cita rasa gurih yang khas. Hidangan ini biasanya dilengkapi dengan irisan ayam, udang, bakso, sawi, dan terkadang hati atau cumi, menjadikannya sajian yang kaya dan mengenyangkan.

Keberhasilan Angko Tjao tidak lepas dari pendekatannya yang personal. Ia selalu memperhatikan detail, seperti tingkat kematangan mie atau kekentalan kuah, sesuai dengan selera pelanggan. Popularitas mie kering pun meroket, dan gerobak kecilnya di Jalan Bali menjadi tujuan warga Makassar yang ingin menikmati hidangan ini. 

Melihat permintaan yang terus meningkat, Angko Tjao akhirnya membuka warung permanen, menandai langkah awal mie kering sebagai kuliner khas kota. "Jadi Angko Tjao itu adalah pekerja di kelenteng di pojok Jalan Bali - Jalan Sulawesi, lalu dapat rumah (dinas) seperti rumah petak-petak di Jalan Bali, di belakang Toko Ance Meong alias Toko Sinar Buana. Dari sinilah ia mulai merintis bisnis mie kering," kata Faizal A Saud, penggiat sejarah Kota Makassar. Menurut alumnus Akuntansi Unhas, ini dari rumah itulah ia mengembangkan usahanya hingga sampai ke tahap sekarang. 

Warisan untuk Generasi Berikutnya

Setelah Angko Tjao meninggal, resep dan semangat kulinernya diteruskan oleh tiga anaknya: Titi, Hengki, dan Awa. Masing-masing mendirikan warung mie kering dengan nama mereka sendiri, yakni Mie Titi, Mie Hengki, dan Mie Awa. 

Selain itu, seorang ipar keluarga, Anto, juga membuka warung yang kini dikenal sebagai Mie Anto. Anto ini menikah dengan Amoy, anak dari Angko Tjao. Belakangan Amoy membuat warungnya sendiri dengan nama Mie Amoy setelah berpisah dengan Anto. Adapun Mie Anto tetap dengan nama itu. 

Mie Titi, Mie Hengki, dan Mie Awa pun menjadi pelopor mie kering di Makassar, masing-masing dengan ciri khasnya sendiri. Mie Titi berkembang lebih luas dengan membuka beberapa cabang di tempat lain. Adapun Mie Hengki tetap di lokasi pertama di Jalan Nusantara depan gerbang Pelabuhan Makassar dan kukuh tidak membuka cabang. 

Mie Titi: Menjadi yang paling terkenal dan memiliki banyak cabang, bahkan hingga ke luar Makassar. Nama "Titi" berasal dari panggilan akrab Angko Tjao untuk anak bungsunya, yang berarti "adik laki-laki" dalam bahasa Tionghoa. Mie Titi dikenal dengan porsi melimpah dan variasi topping seperti udang dan seafood.

Mie Hengki: Memilih bertahan dengan satu lokasi di Jalan Nusantara, Mie Hengki mempertahankan suasana tradisional dengan bangunan sederhana bercat hijau dan peralatan masak klasik, seperti wajan besar dan tungku arang. Pada suatu masa Mie Hengki pernah terkenal dengan ciri khasnnya yang unik: siaran radio yang sering terputar di warung itu adalah Radio Mercurius. 

Mie di sini terkenal dengan tekstur yang sedikit lebih tebal dan kriuk. Salah satu kekhasan lainnya, yakni makanan baru dimasak setelah ada pesanan. Ini yang membuat pelanggan harus lebih bersabar menunggu pesanan mereka.

Mie Awa: Berlokasi di Jalan Sulawesi, Mie Awa memiliki beberapa cabang dan menawarkan variasi menu, seperti mie kuah, mie celup, hingga mie manohara yang terinspirasi dari permintaan khusus pelanggan. Awa adalah nama anak Angko Tjao yang melanjutkan usaha di lokasi berbeda.

Mie Anto/Amoy: Beroperasi di Jalan Lombok tanpa cabang, warung ini tetap setia pada resep asli dengan sentuhan sederhana namun autentik.

Meski keempat warung ini beroperasi secara mandiri, mereka semua mewarisi resep inti dari Angko Tjao: mie yang digoreng garing, kuah kental yang gurih, dan penyajian yang memperhatikan detail. Mie Titi, khususnya, sering disamakan dengan mie kering secara umum karena popularitasnya, mirip seperti merek yang menjadi nama generik.

Ciri Khas dan Daya Tarik Mie Kering

Mie kering Makassar berbeda dari hidangan mie lain, seperti ifumie Tionghoa, karena mienya lebih tipis dan teksturnya sangat renyah. Proses pembuatannya membutuhkan ketelatenan: mie direndam sebentar, digoreng hingga kering, lalu disiram kuah panas yang dibuat sesuai pesanan. Kuahnya biasanya berisi campuran sayuran, daging, dan seafood, dengan tambahan jeruk nipis dan sambal untuk menyeimbangkan rasa.

Keunikan lain adalah cara penyajiannya. Beberapa warung menyajikan mie dan kuah secara terpisah, memungkinkan pelanggan mengatur sendiri tingkat kelembutan mie. Penggunaan tungku arang di beberapa warung, seperti Mie Hengki, juga menambah aroma khas yang sulit ditiru dengan kompor modern.

"Saya sangat familiar dengan mie kering asli pertama di Kota Makassar zaman dulu yang dimasak oleh bapaknya Titi, Awa, Hengki, dan Amoy, namanya Angko Tjao , jadi bisa membandingkan keaslian rasanya," ujar Faizal, yang sering disebut sebagai "akuntan bersejarah" karena banyak mempelajari sejarah Kota Makassar.

Mie Kering dalam Budaya Makassar

Mie kering bukan hanya makanan, tetapi juga simbol akulturasi dan keberagaman di Makassar. Hidangan ini mencerminkan perpaduan budaya Tionghoa dengan selera lokal, di mana bumbu-bumbu sederhana berpadu dengan bahan-bahan segar khas pesisir. Popularitasnya telah menjadikannya salah satu ikon kuliner Makassar, sejajar dengan coto Makassar dan sup konro.

Hingga kini, warung-warung penerus Angko Tjao tetap ramai dikunjungi, baik oleh warga lokal maupun wisatawan. Mie kering juga mulai dikenal di kota-kota lain di Indonesia, seperti Jakarta, membuktikan daya tariknya yang lintas generasi. Meski zaman terus berubah, resep dan cerita Angko Tjao tetap hidup melalui setiap piring mie kering yang disajikan.

Sejarah mie kering adalah kisah tentang inovasi, kerja keras, dan warisan keluarga. Angko Tjao, dengan gerobak sederhananya, tidak hanya menciptakan hidangan yang lezat tetapi juga meninggalkan jejak budaya yang kuat di Makassar.

Melalui anak-anaknya—Titi, Hengki, Awa, dan keluarga Anto—mie kering terus berkembang, mempertahankan cita rasa autentik yang dirintis puluhan tahun lalu. Bagi siapa pun yang berkunjung ke Makassar, mencicipi mie kering adalah cara terbaik untuk merasakan sepotong sejarah dan kehangatan kuliner kota ini.(*)