MAKASSAR, UNHAS.TV – Kemudahan Internet menjadikan
semua orang mampu mengakses informasi dengan gampang, termasuk informasi
kesehatan mental.
Bahkan dengan beragamnya informasi kesehatan tersebut, memunculkan
kecenderungan untuk melakukan self diagnosis terhadap kondisi diri
sendiri.
Apa itu self diagnosis? Menurut Dosen Psikologi Universitas Hasanuddin Makassar, Susi Susanti, S.Psi., M.A., self diagnosis
dapat berarti melakukan diagnosis terhadap diri sendiri dengan mengaitkan pada
ciri-ciri satu penyakit.
“Kalau self diagnosis itu kan berarti mendiagnosa
diri sendiri biasanya dikaitkan dengan ciri-ciri satu penyakit atau sesuatu itu
yang nantinya muncul ciri-cirinya pada diri sendiri. Nah kemudian mendiagnosis
bahwa saya termasuk orang yang seperti itu, yang dikatakan self diagnosis,"
jelas Susi.
Ia pun menyontohkan jika seseorang mencari ciri-ciri
penyakit yang dialaminya di internet, lalu dengan ciri-ciri itu menganggap
dirinya punya penyakit, dan memvonis diri punya penyakit tersebut, maka hal itu
dinilai sebagai self diagnosis.
Sehingga self diagnosis ini merupakan kecenderungan
untuk menentukan kondisi kesehatan mental diri sendiri tanpa bantuan
profesional.
"Bisa saja begitu semisal karena saya diagnosis, saya menganggap
diri saya ini punya penyakit anxiety, gangguan kecemasan, tetapi sebenarnya itu
belum tentu. Banyak orang suka self diagnosis karena informasi mudah
sekali ditemukan di internet, sisa kita ketik ciri-ciri penyakit anxiety, misalnya mudah cemas, apa-apa
overthinking, nah karena berdasar pada itu, terus sudah menganggap dirinya akan
mengalami itu,” ujar lulusan Universitas Gajah Mada ini.
Susi menyebut jika penyakit atau kelainan mental tidak
terjadi seketika, namun ada penyebab dan jangka waktunya.
“Padahal masalah penyakit atau kelainan mental itu, bukan
hanya seketika saja, pasti penyebab dan jangka waktu berapa lama begitu. Makanya
tidak boleh sebenarnya, atau tidak disarankan untuk self diagnosis,
mending ke ahlinya langsung," sebutnya.
Lebih lanjut ia mengatakan jika self diagnosis dapat
memiliki dampak terburuk, yakni menyakiti diri sendiri secara psikologis.
Lantaran ketika sudah mendiagnosa sendiri penyakit dan
mempercayai penyakit itu, lalu akan membiasakan diri dengan apa yang sudah
ditanamkan pada diri.
Kondisi tersebut dinyatakan Susi, jika tidak ditangani para ahli akan makin memperburuk keadaan individu, mempengaruhi kondisi psikologis, dan perilaku. (*)
(Andrea Ririn Karina/ Unhas.TV)