
Sosiolog FISIP Unhas Hariashari Rahim. (dok Unhas.TV)
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat pernyataan itu. Dalam kurun 2022–2024, angka pelanggaran hukum oleh anak di bawah 18 tahun meningkat hampir 17 persen secara nasional. Tawuran, pencurian ringan, bahkan keterlibatan dalam kelompok kriminal, meningkat signifikan.
Namun Hariashari tak ingin masyarakat serta-merta menyalahkan remaja. Baginya, ini adalah panggilan perbaikan struktural.
“Kita harus membangun ulang institusi keluarga. Bukan hanya dengan materi, tapi juga dengan kehadiran. Anak perlu merasa dimiliki dan dilindungi,” tegasnya.
Dalam perspektif sosiologi keluarga, kenakalan remaja masuk dalam kategori juvenile delinquency, yang sering kali lahir dari kondisi relasi sosial yang rapuh di dalam rumah.
Peneliti dari Universitas Airlangga, dalam jurnal terbarunya, juga mengungkap bahwa 78% remaja pelaku kejahatan ringan berasal dari keluarga broken home atau keluarga yang relasinya longgar.
Hal ini diperparah oleh minimnya komunikasi antara orang tua dan anak. Di era digital, waktu berkualitas antaranggota keluarga semakin sulit ditemukan. Ayah tenggelam dalam pekerjaan, ibu sibuk memenuhi kebutuhan rumah, anak terisolasi dalam dunia maya.
“Duduklah bersama mereka, pahami apa yang mereka lihat, apa yang mereka tonton. Jadilah bagian dari dunia mereka,” ujarnya.
Hariashari menyimpulkan bahwa sekolah dan negara tidak bisa sendirian mengatasi ini. Ia mendorong adanya kebijakan keluarga yang memberi ruang lebih luas untuk waktu bersama anak.
“Libur akhir pekan sebaiknya betul-betul dijadikan waktu keluarga. Buat regulasi perusahaan yang memungkinkan pekerja punya waktu berkualitas. Karena di situlah pencegahan dimulai,” tuturnya.
Menutup wawancara, Hariashari mengutip satu kalimat klasik dalam sosiologi keluarga, “Butuh satu desa untuk membesarkan seorang anak. Tapi butuh satu keluarga yang hadir untuk menyelamatkannya dari jurang kenakalan.”
(Muh. Syaiful / Unhas.TV)