Budaya

Tradisi Mappadendang dan Mattojang, Ungkapan Syukur Suku Bugis Pasca Panen

MAKASSAR, UNHAS.TV - Suku Bugis di Sulawesi Selatan memiliki ritual khusus untuk pengungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Salah satunya yakni mappadendang dan mattojang. 

Pada awalnya, dua tradisi ini merupakan penghormatan kepada Dewi Padi, Sanghyang Serri, agar mereka diberkahi dengan hasil panen yang lebih melimpah dari sebelumnya.

Seiring pengaruh Islam, Mappadendang dan Mattojang, lebih ditujukan kepada penghormatan kepada Tuhan sembari berkumpul sebagai tanda kekompakan dan keberhasilan bersama. 

Mappadendang, seiring asal katanya, bermakna menghasilkan irama (dendang) dengan cara meniru kegiatan menumbuk beras pada lesung menggunakan tongkat alu. Daerah lain, Mappadendang sering juga disebut dengan Mappadekko

Tradisi Mappadendang biasanya melibatkan tujuh orang terdiri atas empat perempuan sebagai Indoq Pandendang dan tiga pria. 

Dosen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (FIB Unhas) Dr firman Saleh SS SPd MHum menyebutkan, dari tujuh orang tersebut di antaranya ada yang berperan sebagai Passeppi Paddendang dan satu orang sebagai passere.

Bunyi ketukan dari hasil tumbukan antara alu dan lesung ini menimbulkan irama yang mengundang kegirangan. Bagian inilah yang menjadi puncak dari Mappadendang. Acara ini biasanya akan dilaksanakan pada malam hari saat bulan purnama. 

Adapun Mattojang dalam bahasa Bugis berarti mengayun adalah rangkaian penting pada tradisi ini. Firman menyebutkan, masyarakat Bugis meyakini Batara Guru turun dari Botting Langi' atau negeri Khayangan menggunakan Tojang Pulaweng atau ayunan emas.

"Hal inilah menjadi mitos dan kepercayaan yang menggerakkan masyarakat untuk melaksanakan Mattojang dalam setiap acara Mappadendang.

Berbekal semangat persatuan dan rasa syukur, tradisi ini tidak hanya menjadi simbol budaya yang kaya tetapi juga memperkuat ikatan sosial di kalangan masyarakat Bugis.(*)


Rahmatia & Iffa Aisyah Rahman (Unhas TV)