Polhum
Unhas Speak Up

Tunjangan DPR Dibekukan, Akademisi Unhas: Publik Bertanya Solusi atau Sekadar Meredam?

MAKASSAR, UNHAS.TV - Gelombang demonstrasi besa besaran yang melanda Indonesia bekalangan ini menjadi titik perhatian nasional.

Ribuan masyarakat turun ke jalan menyuarakan keresahan dan tuntutan atas arah kebijakan yang dianggap belum sepenuhnya berpihak pada kepintangan rakyat.

Suasana yang awalnya hanya aspirasi menjadi tekanan politik yang tak bisa diabaikan. Bentrok dengan apparat, fasilitas umum mengalami kerusakan dan sejumlah nyawa melayang.

Tragedi paling menyita perhatian terjadi di Jakarta, ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas usai dilindas kendaraan barakuda dalam upaya penertiban demonstrasi. Peristiwa itu memicu gelombang kemarahan publik yang semakin meluas.

Presiden Prabowo Subianto bergerak cepat meredakan situasi. Sejumlah langkah diambil, mulai dari pemecatan aparat kepolisian yang terlibat pelanggaran hingga pencabutan keanggotaan beberapa anggota DPR yang dinilai menyampaikan pernyataan keliru.

Presiden juga mengumumkan penghentian sementara tunjangan DPR serta moratorium perjalanan ke luar negeri bagi anggota legislatif.

Selain itu, Prabowo menginisiasi dialog dengan 16 kelompok keagamaan untuk mencari solusi damai dan mendorong reformasi internal di tubuh DPR. Apakah langkah-langkah tersebut efektif menyelesaikan masalah, atau sekadar upaya meredam amarah publik?

Pakar politik Universitas Hasanuddin, Endang Sari, SIP MSi, menilai akar persoalan yang memicu demonstrasi tak bisa hanya dijawab dengan tindakan reaktif.

“Kalau kita lihat, semua ini akumulasi dari ketimpangan sosial yang semakin tajam. PHK massal, kenaikan pajak besar-besaran tanpa dialog, harga bahan pokok yang melambung," ujarnya.

"Sementara di sisi lain kita melihat anggota DPR bergembira dengan tunjangan yang naik. Itu menyakitkan bagi masyarakat,” tambah Endang saat hadir dalam program Unhas Speak Up, Kamis (4/9/2025).

Endang menyoroti tragedi Affan sebagai bukti bahwa nyawa rakyat kecil dipertontonkan seolah tidak berharga. “Menindak pelaku di lapangan saja tidak cukup. Harus ada reformasi struktural di tubuh aparat penegak hukum. Pucuk pimpinan juga harus ikut bertanggung jawab,” tegasnya.

Menurut Endang, pencopotan anggota DPR yang hanya “dinonaktifkan” juga dinilai tidak menyelesaikan persoalan.

“Nonaktif itu berbeda dengan pemberhentian. Artinya masih ada ruang untuk diaktifkan kembali. Regulasi tidak mengenal istilah itu, sehingga langkah ini masih keliru,” jelasnya.

Di sisi lain, gaji dan fasilitas DPR tetap menimbulkan ketimpangan. Dengan gaji pokok, tunjangan keluarga, transportasi, hingga rumah dinas yang difasilitasi negara, kehidupan anggota DPR kontras dengan masyarakat yang kesulitan membeli kebutuhan pokok.

Meski demikian, ia masih mengapresiasi langkah presiden yang mulai membuka ruang dialog dengan masyarakat. 

“Ini pergeseran positif. Negara tidak lagi hanya hadir untuk mengatur, tapi juga mulai mendengar. Ke depan, partisipasi masyarakat harus terus dirangkul agar arah pemerintahan tidak keluar jalur,” tuturnya.

Endang menegaskan bahwa demonstrasi tetap memiliki peran penting dalam demokrasi. “Demonstrasi hadir untuk mengingatkan negara yang lupa pada rakyatnya. Ada pesan yang tak bisa disampaikan lewat jalur biasa, sehingga jalanan menjadi ruang untuk bersuara,” katanya.

Gelombang demonstrasi yang masih berlangsung menunjukkan bahwa tuntutan publik belum sepenuhnya terjawab. Kini, masyarakat menanti apakah langkah Presiden akan berlanjut pada reformasi mendasar, atau hanya berhenti pada respons sementara.

(Zulkarnaen Jumar Taufik / Unhas.TV)