Lingkungan

Unhas dan Murdoch University Kolaborasi Lintas Negara Cari Solusi Krisis Iklim di Indonesia

MAKASSAR, UNHAS.TV - Krisis iklim bukan lagi isu masa depan, melainkan realitas yang sudah dirasakan hari ini. Dari cuaca ekstrem hingga naiknya permukaan laut yang mengancam kawasan pesisir, dampaknya terus menggerus sendi-sendi kehidupan.

Dalam semangat mencari solusi lintas disiplin dan lintas negara, Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar diskusi kolaboratif bersama peneliti dari Murdoch University, Australia Barat, pada Rabu (28/5/2025) lalu.

Diskusi yang berlangsung secara hybrid ini digelar di Ruang Meeting A, Gedung LPPM Unhas, dan dihadiri oleh akademisi dari berbagai latar belakang ilmu.

Hadir sebagai pemantik utama adalah Ian D. Wilson, Academic Chair Security Program dan Research Fellow di Asia Research Centre, Murdoch University, serta Sudirman Nasir, Chair Climate Change and Health TRG Unhas dan Kepala Divisi International Research Management LPPM Unhas.

Pertemuan ini bukan sekadar forum akademik, melainkan menjadi ruang lintas gagasan untuk mencari pendekatan yang holistik terhadap ancaman krisis iklim, terutama di Indonesia.

Dalam paparannya, Sudirman menegaskan bahwa krisis iklim adalah ancaman multidimensi yang memengaruhi banyak sektor kehidupan — mulai dari ekonomi, sosial, hingga kesehatan masyarakat.

"Kita terlalu lama memandang perubahan iklim sebagai isu lingkungan semata, padahal ia sudah merasuk ke dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat, terutama kelompok rentan seperti masyarakat miskin dan marginal," ujar Sudirman dalam sesi diskusi.

Menurutnya, dampak iklim seperti kenaikan suhu dan banjir berpengaruh langsung terhadap kesehatan masyarakat --meningkatnya kasus penyakit kulit, pernapasan, hingga terganggunya distribusi pangan. Hal ini, kata dia, tidak bisa ditangani satu disiplin ilmu saja.

Wilson, yang banyak meneliti keamanan dan konflik di Asia Tenggara, menambahkan perspektif menarik. Ia menggarisbawahi bahwa krisis iklim memiliki potensi memperparah ketegangan sosial dan menciptakan konflik sumber daya.

“Di beberapa wilayah Asia Tenggara, perubahan iklim menciptakan tekanan baru terhadap air bersih, pangan, dan ruang hidup. Ini bisa memicu migrasi paksa, bahkan konflik antar-komunitas,” kata Wilson.

Diskusi ini menunjukkan bahwa pentingnya kolaborasi akademik lintas negara bukan hanya untuk riset bersama, tetapi juga untuk membentuk narasi publik dan kebijakan berbasis bukti.

Keduanya mendorong agar hasil penelitian tidak hanya berhenti di jurnal ilmiah, tetapi juga diterjemahkan ke dalam bahasa yang dipahami masyarakat luas dan disebarkan lewat media massa serta media sosial.

“Kolaborasi seperti ini perlu berlanjut. Kita tidak bisa menyelesaikan krisis iklim sendirian. Bahkan publikasi hasil penelitian perlu diarahkan ke ruang-ruang publik, bukan hanya seminar dan jurnal,” tegas Sudirman.

Diskusi ini juga menjadi bagian dari upaya Unhas untuk memperkuat peran perguruan tinggi sebagai katalis perubahan.

LPPM Unhas, sebagai lembaga penggerak riset dan pengabdian masyarakat, tengah mendorong agenda riset kolaboratif yang berfokus pada adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis komunitas.

Menariknya, dalam sesi tanya jawab, muncul pertanyaan dari peserta tentang bagaimana membangun kesadaran kolektif di kalangan masyarakat umum terhadap krisis iklim. Menjawab itu, Sudirman menekankan perlunya strategi komunikasi yang kreatif dan humanis.

"Kita tidak bisa terus bicara dalam bahasa teknokratis. Perlu pendekatan yang menyentuh emosi dan keseharian masyarakat. Cerita warga, visualisasi dampak, dan keterlibatan langsung masyarakat adalah kuncinya," jelasnya.

Kegiatan ini menandai babak baru dalam relasi akademik antara Unhas dan Murdoch University, yang sebelumnya telah menjalin kerja sama di bidang penelitian dan pertukaran mahasiswa.

Ke depan, kedua institusi sepakat untuk memperluas kerja sama, termasuk dalam bentuk joint research, publikasi bersama, dan program pengabdian masyarakat lintas negara.

Dengan menyatukan kekuatan intelektual dan empati sosial, Unhas dan Murdoch University berharap bisa menjadi bagian dari solusi global terhadap krisis iklim, dimulai dari Indonesia.

“Perubahan iklim itu nyata dan sedang terjadi. Pertanyaannya, kita mau jadi penonton atau pelaku perubahan?” pungkas Wilson dalam pernyataan penutupnya.

(Zulkarnaen Jumar Taufik / A. Muh. Syafrizal / Unhas.TV)