Nasional

15 Tahun RUU Masyarakat Adat Mandek, Ini Komentar Akademisi & Mahasiswa Unhas?

UNHAS.TV - Selama lebih dari 15 tahun, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat terperangkap dalam pusaran birokrasi tanpa kejelasan nasib.

Sementara itu, masyarakat adat di seluruh Indonesia terus berjuang mempertahankan hak atas tanah leluhur mereka, menghadapi ancaman perampasan lahan, dan ketidakadilan hukum yang seolah tiada akhir.

Dikutip dari,fwi.or.idpada tahun 2003, RUU Masyarakat Adat pertama kali diusulkan dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Naskah akademiknya dirumuskan pada tahun 2010, namun hingga kini, pengesahannya masih tertunda. Ketiadaan payung hukum yang kuat membuat masyarakat adat rentan terhadap konflik lahan dan marginalisasi.

Desakan untuk segera mengesahkan RUU ini semakin menguat. Mahasiswa, aktivis, dan berbagai elemen masyarakat turun ke jalan, menuntut pemerintah dan DPR RI memberikan perhatian serius terhadap nasib masyarakat adat.

Mereka menilai, pengesahan RUU ini bukan sekadar formalitas, melainkan langkah nyata untuk melindungi hak-hak konstitusional masyarakat adat.

Dosen Antropologi Universitas Hasanuddin, Andi Batara Al Isra, menekankan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah kunci untuk menjaga keberagaman budaya Indonesia.

"Masyarakat adat adalah penjaga kearifan lokal dan identitas bangsa. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kita berisiko kehilangan warisan budaya yang tak ternilai," ujarnya.

Pada Desember 2024, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU ini pada tahun 2025. Mereka menyoroti bahwa RUU tersebut telah masuk kembali dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025, memberikan harapan baru bagi masyarakat adat.

Namun, perjalanan menuju pengesahan RUU ini tidaklah mudah. Tantangan datang dari berbagai arah, mulai dari kepentingan korporasi besar hingga birokrasi yang berbelit. Banyak pihak yang khawatir kehilangan akses terhadap sumber daya alam jika RUU ini disahkan, sehingga lobi-lobi penundaan terus terjadi.

Selain itu, perbedaan pandangan di kalangan legislatif mengenai definisi dan ruang lingkup masyarakat adat juga menjadi hambatan. Beberapa fraksi menginginkan peninjauan ulang terhadap beberapa pasal, sementara yang lain mendorong percepatan pengesahan tanpa revisi berarti.

Di sisi lain, masyarakat adat tidak tinggal diam. Mereka terus memperkuat solidaritas, melakukan pemetaan wilayah adat secara mandiri, dan menggalang dukungan dari masyarakat luas. Langkah-langkah ini menunjukkan tekad kuat mereka untuk mempertahankan hak dan identitas budaya.

Penting untuk dicatat bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya berdampak pada masyarakat adat semata, tetapi juga pada kelestarian lingkungan. Studi menunjukkan bahwa wilayah adat yang dikelola dengan kearifan lokal cenderung lebih lestari dan terjaga dari kerusakan.

Kini, bola ada di tangan pemerintah dan DPR RI. Akankah mereka mendengarkan suara masyarakat adat dan seluruh pendukungnya? Ataukah RUU ini akan kembali terperangkap dalam labirin politik tanpa ujung? Hanya waktu yang akan menjawab, namun harapan akan keadilan bagi masyarakat adat tetap menyala.

Simak liputan lengkapnya dalam tayangan berikut ini: