Unhas Story

Abdul Salam Saputra, Debat, Clashmate.ID, dan Cerita Komunikasi yang Tak Pernah Selesai




Co Founder Clashmate.id Abdul Salam Saputra. (dok Unhas.TV)


Abdul Salam Saputra sudah terbiasa berdiri di bawah tekanan waktu. Dalam dunia debat parlementer, 15 menit adalah seluruh waktu yang tersedia untuk menyusun argumen, menyaring gagasan, dan menyiapkan diri menyampaikan pendapat di depan forum.

Tak jarang, saat pertama terjun ke arena debat pada 2021, ia mengalami hal yang paling ditakuti oleh setiap pendebat: blank di tengah pidato. “Tapi saya tipe yang pasti tulis semua dalam waktu 15 menit itu. Jadi kemungkinan lupa kecil,” katanya dengan nada tenang.

Namun, ia mengakui, rasa gugup adalah bagian dari proses. “Kalau nge-blank sampai tiga tahun baru enggak wajar, berarti kurang latihan,” ujarnya, terkekeh.

Baginya, rasa gugup bukan alasan untuk mundur, melainkan cambuk untuk lebih berlatih. Justru dari kegugupan itu ia belajar membangun mindset yang hari ini menjadi prinsip utama, bahwa lawan yang jago bukan untuk ditakuti, tapi untuk dijadikan guru.

“Kalau kita kalah, itu wajar. Tapi kalau menang, kita dianggap hebat,” katanya, menyederhanakan filosofi kompetisi menjadi pelajaran mental.

Prinsip inilah yang kelak menjelma menjadi Clashmate.ID, platform edukasi yang ia dirikan bersama dua sahabatnya—Gilang dari IPB dan Kelvin dari UI.

Bertiga, mereka tak hanya berbagi semangat debat, tapi juga keresahan intelektual yang sama: bahwa generasi muda Indonesia bisa membaca dan menulis, tapi belum tentu mampu berpikir kritis.

“Padahal, berpikir kritis itu yang paling penting. Tanpa itu, membaca dan menulis jadi sekadar aktivitas mekanis,” katanya.

Ia menekankan pentingnya membangun check and balance dalam berpikir: kemampuan mempertahankan gagasan sendiri, tapi juga mendengar gagasan orang lain. “Debat jadi medium yang pas untuk itu.”

Clashmate.ID lahir dari diskusi yang panjang, perdebatan yang tak habis-habis, dan kesepakatan-kesepakatan yang lahir dari kompromi.

Tantangannya bukan hanya soal jarak antara Makassar, Jakarta, dan Bogor, tapi juga perbedaan karakter dan ideologi di antara mereka bertiga. “Namanya juga debaters, ego kami masing-masing tinggi,” kata Salam.

Sebagai Chief Operating Officer (COO), ia bertugas memastikan semua program berjalan dengan baik. Tapi dalam praktiknya, semua tumpang tindih. “Kalau tugas Gilang atau Kelvin ada yang kurang, kami saling back up,” ujarnya.

Hingga kini, platform itu sudah berjalan selama 3–4 bulan, dan Salam punya mimpi besar untuknya. “Kami ingin ini jadi startup jangka panjang. Jadi ruang belajar bagi yang ingin berkembang tapi terhambat biaya atau akses,” ujarnya.

Tak cuma debat, ke depan Clashmate.ID akan melebarkan sayap ke dunia public speaking dan Model United Nations.

Ia paham Clashmate.ID bukan satu-satunya platform edukasi. Tapi di situlah keunggulannya. Ia tak menawarkan pelajaran akademik seperti UTBK atau kalkulus, melainkan keterampilan non-akademik yang sering terlupakan dalam sistem pendidikan formal. “Kami isi ruang kosong itu,” katanya mantap.

Di sela aktivitasnya membangun platform dan berlomba, Salam tetap hadir di kelas. IPK-nya 3,96. Ia mengaku, mengelola waktu adalah kuncinya. “Kalau rajin hadir, aktif, dan ngerjain tugas, itu saja cukup,” ujarnya ringan.

Rencananya, ia akan lulus tahun ini. Lalu? Ada banyak opsi: PNS, perusahaan swasta, atau sepenuhnya membesarkan Clashmate.ID. “Akhir-akhir ini mulai muncul jiwa entrepreneur,” katanya.

Ia ingin anak muda berani berdampak bahkan sebelum lulus. “Kuncinya eksplorasi,” katanya. “Orang-orang yang berdampak itu, mereka mulai dari keberanian untuk mencoba hal baru.”

Hari itu, Salam menyelesaikan wawancaranya dengan senyum. Skripsi masih menanti. Kompetisi berikutnya mungkin juga sedang mengintip. Tapi baginya, jalan komunikasi masih panjang—dan menarik.

“Ada ruang di mana suara kita didengarkan,” katanya. “Dan komunikasi adalah jembatan menuju ruang itu.” (*)