Oleh: Khusnul Yaqin*
Penelitian terbaru yang dipublikasikan oleh Eriksen et al. (2023) mengungkapkan fakta mengejutkan: lebih dari 170 triliun partikel plastik kini mengapung di lautan dunia, menciptakan semacam "asap plastik" yang menyelimuti ekosistem laut. Fakta ini bukan sekadar angka statistik, melainkan alarm keras bagi komunitas ilmiah dan masyarakat global bahwa pencemaran plastik telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Mikroplastik, dengan ukurannya yang kecil, tidak hanya mengganggu estetika laut tetapi juga menembus jaringan organisme laut dan akhirnya masuk ke dalam rantai makanan manusia.
Dalam perspektif Ekotoksikologi Akuatik, mikroplastik bukan hanya sampah mengambang biasa. Partikel-partikel kecil ini dapat menyerap logam dan bahan kimia beracun yang kemudian terakumulasi di jaringan organisme laut. Ketika dikonsumsi oleh zooplankton atau ikan kecil, zat-zat berbahaya ini dapat berlanjut ke tingkat trofik yang lebih tinggi, menyebabkan bioakumulasi dan biomagnifikasi, yang pada akhirnya berisiko bagi manusia yang mengonsumsi makanan laut.
Makalah ilmiah yang dipublikasikan dalam PLOS ONE menunjukkan bahwa sejak tahun 2005, jumlah mikroplastik di laut mengalami peningkatan yang signifikan. Sebelumnya, tren pencemaran plastik sempat mengalami stagnasi, kemungkinan besar berkat regulasi seperti MARPOL Annex V, yang membatasi pembuangan plastik dari kapal laut. Namun, setelah 2005, jumlah plastik di lautan meningkat drastis, seiring dengan pertumbuhan industri plastik global dan ketidakefektifan sistem daur ulang.
Di Universitas Hasanuddin, Thematic Research Group (TRG) Aquatic Ecotoxicology (https://trg.unhas.ac.id/acuetox/) telah aktif melakukan penelitian terkait mikroplastik dalam ekosistem laut Indonesia. Kajian mereka mencakup spesies lokal seperti kerang hijau (Perna viridis), kerang lentera atau kanjappang (Lingula sp.), serta spesies lainnya yang sering dikonsumsi masyarakat. Penelitian ini penting untuk memahami tingkat kontaminasi mikroplastik di biota laut serta dampaknya bagi kesehatan manusia.
Paparan mikroplastik tidak hanya terjadi melalui makanan laut, tetapi juga melalui udara dan air minum. Penelitian menunjukkan bahwa partikel plastik yang lebih kecil dari 1 mikrometer (nanoplastik) dapat masuk ke dalam sel manusia, berpotensi menyebabkan inflamasi, gangguan hormon, serta peningkatan risiko penyakit kronis seperti kanker. Temuan ini menegaskan bahwa mikroplastik bukan sekadar polusi lingkungan, tetapi juga ancaman nyata bagi kesehatan manusia.
Di tengah meningkatnya pencemaran plastik di lautan, Bank Sampah telah membuktikan diri sebagai solusi berbasis masyarakat dalam pengelolaan limbah plastik. Dengan sistem insentif, masyarakat didorong untuk memilah dan mendaur ulang sampah plastik mereka. Namun, karena jumlah sampah plastik yang terus bertambah, dibutuhkan inovasi yang lebih maju untuk mengolah plastik tidak hanya menjadi produk daur ulang, tetapi juga sebagai sumber energi alternatif.