Hiburan

Alffy Rev di Unhas: Mengalir ke Kedalaman di Era Kecepatan

UNHAS.TV – Suasana Baruga A.P. Pettarani, Sabtu pagi, 24 Mei 2025, berubah menjadi ruang kontemplasi kebangsaan. Di tengah sorotan lampu panggung dan antusiasme ratusan mahasiswa yang memadati kursi auditorium, musisi dan produser kreatif Alffy Rev naik ke panggung.

Bukan untuk tampil dengan iringan orkestra digital seperti biasanya, melainkan untuk bicara: tentang ide, tentang kedalaman, tentang pentingnya kembali menengok ke rumah sendiri.

Alffy menjadi salah satu pembicara dalam Dialog Kebangsaan Festival Gema Kampus 2025, bersama tokoh-tokoh nasional lintas bidang: budayawan Ngatawi Al-Zastrouw, Rektor Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc., penyanyi muda Raissa Anggiani, dan Shanna Shannon.

Dalam forum yang diselenggarakan oleh PAPPRI dan MRPTNI ini, Universitas Hasanuddin menjadi tuan rumah tahun kelima setelah sebelumnya digelar di Solo, Lampung, Padang, dan Bali.

"Kita hidup di era kecepatan—AI dan segala macam membuat lagu bisa jadi dalam hitungan detik. Tapi justru karena itu, kita rentan melupakan kedalaman," kata Alffy membuka refleksinya.



Mengenakan pakaian serba hitam dengan aksesori etnik, ia bukan hanya menyampaikan gagasan, tetapi menampilkan perenungan. "Borobudur dan Prambanan tidak dibangun dalam semalam. Mereka bukan produk kecepatan, tapi karya peradaban yang mengendap dari makna dan spiritualitas."

Sebagai seniman yang membangun karier dari nol—dari SMK musik hingga kuliah sambil mengikuti berbagai lomba, Alffy menyatakan dirinya tak berbeda dari banyak anak muda di ruangan itu.

Tapi ada satu hal yang membedakan: "Ketika banyak orang sibuk menoleh ke Barat, saya memilih melihat ke rumah sendiri. Kita bisa bersaing dengan dunia internasional, bukan dengan meniru, tapi dengan mengangkat warisan leluhur kita."

Alffy dikenal dengan karya-karya kolosal yang memadukan audiovisual, etnik, dan narasi sejarah, seperti Wonderland Indonesia. Tapi di balik teknis produksi yang rumit, ia menekankan pentingnya kesadaran akan misi besar.

"Semua orang bisa membuat musik, tapi tidak semua memberi makna. Spirit itu penting. Lagu nasional, misalnya, bisa menyatukan berbagai lapisan masyarakat. Tapi agar bermakna, kita harus menggali—bertemu dengan batu-batu tua di candi, menafsirkan ukiran yang berusia ribuan tahun."

Bagi Alffy, inspirasi bukan sekadar datang dari pikiran kreatif, tetapi dari jiwa yang mau mengendap. "Karya tidak hanya fakta atau simbol, tapi spirit dari fakta itu sendiri," ujarnya sambil menatap jauh ke layar proyeksi yang menampilkan kutipan visual dari karyanya.

Sesi diskusi berjalan dinamis, dengan Al-Zastrouw menyinggung tantangan budaya digital dan Raissa Anggiani berbicara tentang perjalanan emosional dalam berkarya. Sementara Prof. Jamaluddin Jompa menekankan pentingnya keberlanjutan nilai dan inovasi di dunia kampus, serta kolaborasi antara institusi dan komunitas seni.

Selepas dialog, festival berlanjut di Lapangan Sepak Bola Unhas Tamalanrea dengan pameran inovasi dan Pop Art Market yang menampilkan lebih dari 30 karya inovatif sivitas akademika dan UMKM binaan kampus. Sore itu, kampus tidak hanya menjadi ruang akademik, tetapi juga tempat ide-ide merayakan akar dan kemungkinan masa depan.

Di tengah semua perayaan itu, Alffy Rev menyisakan satu pesan penting: bahwa di era kecepatan dan algoritma, kita tidak boleh kehilangan kedalaman. “Jangan hanya berpacu untuk cepat—tapi galilah sampai dalam. Karena kedalamanlah yang membuat kita tidak hanya hadir di zaman ini, tapi berjejak dalam sejarah.”