UNHAS.TV - Seorang perempuan dengan jilbab putih dan kacamata bulat tampak tenang saat memasuki ruang kerja Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Di tangannya tergenggam buku catatan kecil, bukan simbol kekuasaan, tapi alat kerja.
Namanya A. Sri Wulandani Thamrin, S.IP., M.Hum, sosok perempuan yang baru saja dipercaya sebagai Staf Ahli Wakil Gubernur Sulsel. Ia bukan politisi. Ia juga bukan pejabat karier. Tapi rekam jejaknya dalam aktivisme, riset, dan advokasi kebijakan membuatnya jadi salah satu sosok yang paling layak menduduki posisi ini.
Lahir di Ujungpandang, 30 Juni 1982, Andi Wulandani meniti jalan panjang sebelum tiba di jantung pemerintahan provinsi. Perjalanannya dimulai dari lorong-lorong intelektual kampus Universitas Hasanuddin, tempat ia menempuh studi di jurusan Hubungan Internasional FISIP.
Di sinilah, di bawah rindang pohon-pohon besar dan ruang diskusi terbuka, Andi Wulandani merintis arah hidupnya. Ia bukan tipe mahasiswi yang hanya mengejar indeks prestasi kumulatif.
Ia lebih sering terlihat berdiskusi di pelataran sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tempat ia menempa diri bukan hanya sebagai aktivis, tapi sebagai pemikir yang tangguh.
HMI bukan sekadar organisasi baginya. Ia adalah sekolah kedua. Di sana, ia dilatih untuk membaca dunia dengan kacamata kritis, memahami politik tidak hanya sebagai perebutan kuasa, tetapi sebagai instrumen untuk mengupayakan keadilan.
Di forum-forum latihan kader, ia belajar memetakan konflik global, membaca relasi kuasa antara negara dan pasar, serta mempertanyakan struktur sosial yang timpang.
Ia membaca Fanon, Chomsky, dan pemikir feminis seperti Nawal El Saadawi. Ia terbiasa terjaga hingga larut malam demi mempersiapkan materi diskusi tentang ketimpangan internasional, pembebasan Palestina, atau peran perempuan dalam transformasi sosial.
Dari HMI, ia belajar bahwa perdebatan bukan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk menumbuhkan. Bahwa keberpihakan tidak cukup hanya dengan empati, tapi butuh analisis dan tindakan nyata.
Lebih dari itu, organisasi ini mempertemukannya dengan berbagai latar pemikiran: dari yang konservatif hingga progresif, dari yang religius hingga sekuler. Ia belajar menyeberangi batas ideologis, tanpa kehilangan arah moralnya sendiri.
Di titik inilah, benih komitmen pada masyarakat tumbuh dan mengakar. Ia sadar bahwa perjuangan tidak selalu harus berteriak di jalanan—kadang justru dengan mendengar lebih dalam, menulis lebih jernih, dan merancang lebih sistematis.
Pengalaman itu menjadi bekal saat ia dipercaya menjadi Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Soppeng pada 2018. Di sana, ia mengelola kepercayaan publik dalam sistem demokrasi lokal, menghadapi dinamika politik, dan menjaga integritas pemilu di tengah tantangan yang tidak ringan.
Tapi justru setelah itu, ia memilih kembali ke akar: menjadi aktivis, peneliti, dan penggerak isu-isu kemanusiaan.
Sejak itu, langkahnya tidak pernah menjauh dari masyarakat. Ia menjadi bagian dari studi World Bank (2013), lalu tenaga ahli survei kepuasan publik di Soppeng (2016), menyusun riset dampak kekerasan terhadap perempuan (2019), dan menyusun policy brief pencegahan radikalisme untuk The Asian Muslim Action Network (2021).