
Dari gender hingga demokrasi lokal, dari pencegahan ekstremisme hingga advokasi sosial, Andi Wulandani menjelma sebagai jembatan antara masyarakat sipil dan ruang kekuasaan.
Dari 2021 hingga 2023, ia memimpin program pencegahan perkawinan anak di ICJ Makassar. Ia juga mengajar sebagai dosen praktisi Kurikulum Merdeka di UNM, lalu menjadi konsultan eksternal Save The Children untuk riset gender.
Pengalaman ini menjadi modal penting ketika ia mulai menjalin komunikasi dengan berbagai pejabat daerah, kementerian, hingga lembaga donor.
Kini, sebagai Staf Ahli Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Wulandani tidak sekadar membawa pengalaman akademik. Ia membawa sensitivitas sosial, pemahaman gender, serta jaringan luas yang ia bangun dalam diam selama dua dekade terakhir.
Di tengah birokrasi yang kerap keras dan maskulin, hadirnya Wulandani menjadi penyeimbang. Ia membawa perspektif dari bawah—tentang anak-anak yang dinikahkan terlalu dini, ibu-ibu korban kekerasan, dan masyarakat adat yang tersisih dari proses pembangunan.
“Jabatan ini bukan hadiah,” katanya. “Ini amanah, sekaligus ruang untuk memastikan bahwa kebijakan tidak melupakan yang paling lemah.”
Dari HMI ke KPU, dari desa ke ruang kerja Wakil Gubernur, dari sunyi riset ke pusat pemerintahan, Andi Sri Wulandani adalah bukti bahwa jalan perubahan bisa ditempuh dengan konsistensi dan keyakinan, bahkan tanpa sorotan kamera. Kini, suaranya telah sampai ke ruang yang punya kuasa untuk mengubah banyak hal.
Tak banyak yang tahu, Andi Sri Wulandani adalah pencinta puisi. Di hari-hari pertamanya menapaki kampus FISIP Universitas Hasanuddin, ia pernah berdiri di depan forum mahasiswa dan membacakan puisi Seonggok Jagung karya W.S. Rendra.
Ia tidak tahu bahwa puisi itu bukan sekadar teks—melainkan isyarat atas jalan hidupnya: menjadi pembela mereka yang selama ini hanya diberi sisa dan diam dalam ketertindasan.
Sejak saat itu, ia mendedikasikan hidup untuk mengadvokasi petani, buruh, perempuan, dan masyarakat kecil—mereka yang menyaksikan seonggok jagung itu, tetapi tak punya suara untuk bicara.
Seonggok jagung di kamar// Tidak akan menolong seorang pemuda// yang pandangan hidupnya berasal dari buku// dan tidak sanggup menghadapi kenyataan.
Dan sejak itu pula, ia memilih untuk tidak hanya membaca puisi, tapi hidup di dalamnya.