Saintek

Arkeolog Menemukan Kehidupan Purba di Dasar Laut Selat Madura: Sundaland (Tanah Sunda) Pusat Peradaban Kuno Dunia ?



Peta Selat Madura di utara Surabaya yang menunjukkan lokasi bagian-bagian pembuatan profil dasar laut (garis merah berlabel A–C) dan lokasi pengeboran dalam (lingkaran merah) yang digunakan dalam penelitian ini. Area bertitik menunjukkan perkiraan posisi lembah sungai purba yang terisi pasir (paleovalley). Kredit: Berghuis dkk. (2024), Quaternary Environments and Humans.
Peta Selat Madura di utara Surabaya yang menunjukkan lokasi bagian-bagian pembuatan profil dasar laut (garis merah berlabel A–C) dan lokasi pengeboran dalam (lingkaran merah) yang digunakan dalam penelitian ini. Area bertitik menunjukkan perkiraan posisi lembah sungai purba yang terisi pasir (paleovalley). Kredit: Berghuis dkk. (2024), Quaternary Environments and Humans.


Mengubah Narasi Prasejarah Asia Tenggara

Penemuan ini secara signifikan mengubah pemahaman kita tentang mobilitas, kecerdasan, dan strategi adaptasi Homo erectus. Daratan Sundaland bukanlah wilayah pinggiran, melainkan pusat kehidupan purba yang kaya akan biodiversitas dan kebudayaan awal.Ini semakin menguatkan pandangan ahli genetika Stephen Oppenheimer bahwa wilayah barat kepulauan Indonesia dulunya merupakan bagian dari daratan besar yang masih menyatu dengan benua Asia, yang kini dikenal sebagai Sundaland. Namun, seiring meningkatnya suhu bumi pada masa lalu, es di kutub mencair dan menyebabkan banjir besar yang menenggelamkan wilayah-wilayah dataran rendah di berbagai belahan dunia.

Oppenheimer, yang menjabat sebagai profesor di Universitas Oxford, Inggris, telah mengkaji DNA manusia selama beberapa dekade. Penelitiannya mencakup pelacakan DNA dari spesies manusia modern yang telah punah hingga ke manusia yang hidup di masa kini, seperti diberitakan oleh situs resmi LIPI.

Dalam penelitiannya, Oppenheimer mengintegrasikan berbagai pendekatan ilmu, termasuk genetika, kedokteran, geologi, arkeologi, antropologi, linguistik, dan studi folklor. Gabungan metode lintas disiplin ini menjadi dasar dari buku karyanya yang berjudul Eden in the East.

Buku tersebut mengusung gagasan utama bahwa nenek moyang orang Polinesia—yang juga memiliki keterkaitan genetik dengan populasi di Benua Amerika—bukan berasal dari Cina, seperti anggapan umum sebelumnya. Sebaliknya, mereka diduga berasal dari komunitas-komunitas kuno yang dahulu mendiami dataran luas yang kini berada di bawah perairan Asia Tenggara. Migrasi dan penyebaran budaya besar-besaran ini, menurut Oppenheimer, dipicu oleh bencana global berupa naiknya permukaan laut sekitar 30.000 tahun yang lalu.

Teori yang ia kemukakan, yang kini dikenal sebagai Oppenheimer Theory, menyampaikan dengan tegas bahwa akar peradaban besar dunia—termasuk Mesir, kawasan Mediterania, dan Mesopotamia—justru berasal dari wilayah Melayu purba, yang dahulu disebut sebagai Sunda Land, mencakup sebagian besar wilayah Indonesia saat ini.

Gagasan serupa juga pernah diungkapkan oleh Arysio Santos, seorang profesor asal Brasil, yang menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang selama ini dianggap sebagai legenda dalam karya Plato sebenarnya merujuk pada wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia.

Pendapat Santos memperoleh dukungan dari sejumlah arkeolog terkemuka di Amerika Serikat. Mereka menyatakan keyakinan bahwa yang dimaksud Plato sebagai benua Atlantis sebenarnya adalah sebuah daratan luas yang dikenal dengan nama Sundaland—wilayah yang saat ini mencakup pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun yang lalu, daratan besar ini tenggelam akibat bencana banjir besar yang terjadi bersamaan dengan berakhirnya zaman es.

ok

Dalam bukunya yang terbit pada 2005, Santos menjelaskan bahwa bagian barat Indonesia—yang termasuk dalam wilayah Sundaland—pernah menjadi pusat peradaban kuno. Ia mengutip deskripsi Plato yang menyebutkan bahwa benua Atlantis musnah akibat serangkaian letusan gunung berapi yang terjadi bersamaan dengan mencairnya lapisan es tebal yang saat itu masih menyelimuti sebagian besar daratan bumi. Kombinasi bencana alam tersebut menyebabkan tenggelamnya sebagian besar wilayah benua tersebut ke dasar laut.

Dengan terbukanya bab baru ini, para ilmuwan terdorong untuk menulis ulang narasi prasejarah Asia Tenggara, menggali lebih dalam peta migrasi manusia awal dan interaksi antarkelompok yang pernah menghuni wilayah yang kini terendam oleh lautan.(*)