News
Travel

Merajut Cerita, Menyapa Dunia: Suara Muda Timor Leste

Laporan Yusran Darmawan dari Dili, Timor Leste*

Senyum itu merekah sejak pagi. Aula Pusat Budaya Indonesia (PBI) di Dili dipenuhi derap langkah mahasiswa, guru, hingga para pekerja muda yang datang dengan wajah penuh rasa ingin tahu. 

Ada yang masih mengenakan seragam kuliah, ada yang membawa ransel, tetapi semua menatap dengan semangat yang sama: belajar menguasai dunia digital. Begitu acara dimulai, antusiasme pun meledak, seolah menghapus jeda kaku di antara kursi-kursi yang rapat.

Saya datang ke Dili untuk memberi pelatihan media sosial dan digital atas undangan Atase Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Prof. Tasrifin Tahara. Mulanya saya ragu saat diminta melatih anak muda Dili. Saya menyiapkan presentasi dalam bahasa Inggris, dan siap untuk menggunakan bahasa Inggris.

Namun Prof. Tasrifin meyakinkan kalau rata-rata anak muda Dili paham bahasa Indonesia. “Misi kami di PBI Dili adalah menyebarkan bahasa Indonesia seluas mungkin. Makanya, gunakan bahasa Indonesia,” katanya.

Dia benar. Di awal presentasi, saya bertanya ke 60 peserta apakah mereka mengerti bahasa Indonesia, dan semua menjawab iya. Maka berjalanlah pelatihan itu. Rasanya seakan berada di dalam negeri.


bersama peserta pelatihan

pembukaan oleh Prof. Tasrifin Tahara

Melihat peserta berbicara dengan fasih, saya teringat saat membawakan materi serupa di Kupang beberapa waktu lalu. Suasana, semangat, bahkan aksen mereka terasa begitu dekat.

Sejak beberapa tahun terakhir, Prof. Tasrifin mengamati geliat anak muda Timor Leste yang begitu akrab dengan media sosial. Dari layar ponsel, mereka menemukan ruang baru untuk bercerita, berekspresi, dan membangun jati diri.

Sebagai seorang antropolog, ia membaca fenomena ini bukan semata tentang teknologi, tetapi juga tentang kebutuhan sosial: bagaimana generasi baru di negeri muda ini berusaha meneguhkan eksistensinya di mata dunia.

Media sosial menjadi jembatan paling mungkin, murah, mudah, sekaligus efektif. Dan di sanalah bahasa Indonesia muncul sebagai pilihan strategis.

Ia tidak hadir sebagai warisan politik masa lalu, melainkan sebagai bahasa pop, bahasa media, bahasa percakapan sehari-hari lintas batas. Bahasa yang lahir dari lagu, sinetron, film, hingga tren TikTok yang viral.

Bahasa yang Menjadi Paspor

Di negeri yang baru dua dekade merdeka, generasi mudanya tumbuh tanpa bayang perang. Imajinasi mereka dibentuk bukan oleh ingatan konflik, melainkan oleh layar kaca dan layar gawai.

Sejak kecil, telinga mereka akrab dengan lirik lagu Indonesia, mata mereka menonton sinetron sore, jari mereka menari di atas layar ponsel mengikuti tren TikTok dari Jakarta hingga Makassar.

Bahasa Indonesia pun menjadi paspor kultural sekaligus digital. Ia membuka jalan ke jejaring yang lebih luas. Dari pertemanan lintas negara hingga peluang beasiswa.

Dengan bahasa ini, konten yang mereka buat tidak berhenti di lingkaran kecil, tetapi menembus batas: sampai ke Malaysia, Brunei, Singapura, bahkan ke audiens global.

“Bahasa Indonesia membuka akses, sedangkan media sosial memberi panggung,” ujar Prof. Tasrifin. Dari sinilah lahir keyakinan: generasi muda Timor Leste bukan hanya konsumen, tetapi juga produsen gagasan, narasi, dan citra baru tentang bangsanya.

Suara yang Ingin Didengar Dunia

Di barisan depan, Maria, seorang mahasiswi semester akhir, sibuk menyiapkan gawainya. Ia tidak sendiri; hampir semua peserta mengeluarkan ponsel, mencatat, merekam, mengabadikan. “Kami ingin tahu bagaimana membuat konten yang menarik,” katanya singkat dengan mata berbinar.

Hari itu, ruangan seakan berubah menjadi kelas besar tempat generasi muda Timor Leste berlatih berbicara kepada dunia. Media sosial bagi mereka bukan sekadar hiburan, melainkan pintu menuju kesempatan.

Facebook masih jadi ruang utama berbagi kabar, TikTok sebagai medium ekspresi segar, Instagram mulai meraih tempat di kota, sementara WhatsApp tetap setia menjadi simpul keluarga dan komunitas.

Namun keterbatasan masih membayang: internet yang mahal dan lambat di luar Dili, arus informasi yang tanpa saringan, juga tantangan literasi digital. Karena itu, pelatihan hari itu menjadi penting: mengubah anak muda dari konsumen pasif menjadi produsen konten yang kritis, sehat, dan kreatif.


>> Baca Selanjutnya