News
Travel

Merajut Cerita, Menyapa Dunia: Suara Muda Timor Leste



presentasi seorang peserta pelatihan


Rumah di Tengah Jalan

Di tengah segala keterbatasan, Pusat Budaya Indonesia (PBI) berdiri sebagai rumah persahabatan. Gedung enam lantai yang diresmikan pada 2019 ini bukan hanya tempat kursus bahasa, tetapi juga ruang diplomasi budaya, rumah tempat generasi muda Timor Leste menemukan teman dan pintu baru.

Setiap enam bulan, ratusan orang, mulai dari mahasiswa, guru, pegawai negeri, hingga pekerja gereja, datang belajar bahasa Indonesia.

Bahasa ini, yang pernah meredup setelah 2002, kini kembali bercahaya. Ia dipakai untuk berdagang, untuk kuliah, untuk mengisi caption Instagram. Ia hidup kembali di ruang-ruang digital, sekaligus menyatukan yang pernah terpisah.

Harapan-Harapan yang Mengalir

Pelatihan hari itu bukan sekadar agenda teknis. Ia menjelma perayaan kecil, tanda bahwa generasi muda Timor Leste siap berbicara kepada dunia.

Di sela istirahat, Jose berbisik tentang mimpinya: membuat konten yang menampilkan sudut-sudut indah Timor Leste. Mulai dari pantai yang sepi, gunung yang gagah, dan jalan-jalan kecil yang penuh cerita.

Maria, dengan senyum penuh keyakinan, ingin mengabarkan pada dunia tentang indahnya tenun Timor Leste, warisan yang tak sekadar kain, melainkan identitas yang dijalin tangan-tangan perempuan. Dan Alfredo, dengan suara tenang, menyebut orang Indonesia sebagai saudara. “Saya ingin merajut perdamaian dengan mereka,” katanya.

Harapan-harapan itu sederhana, tetapi di situlah makna sesungguhnya: generasi baru Timor Leste ingin berbicara, ingin didengar, dan ingin bersaudara. Dari Dili yang kecil, mereka mengirim pesan besar: masa depan bukan hanya tentang teknologi, melainkan tentang manusia yang saling menyapa, dengan bahasa, layar, dan hati yang terbuka.

Dari Senjata ke Gawai

Dua dekade silam, anak muda Timor Leste menyandang senjata untuk merebut kemerdekaan. Mereka bertaruh nyawa di jalan-jalan, di hutan, dan di bukit-bukit demi satu kata: merdeka.

Kini, generasi yang lahir setelah perang menyandang benda lain di genggaman mereka: gawai. Dari layar kecil itu, mereka menyampaikan sikap, menuliskan tuntutan, bahkan menyerukan demonstrasi kepada pemerintah.


di depan patung Christo Rei

Revolusi tidak lagi berbentuk desing peluru dan pekik peperangan. Revolusi hadir dalam bentuk sentuhan jemari di layar kaca, dalam video singkat yang menyebar cepat, dalam nyanyian dan tarian yang viral di TikTok, dalam unggahan yang menyeberangi batas-batas negara.

Ada kesinambungan di sana: semangat yang sama, hanya wadah yang berbeda. Jika dahulu mereka berjuang untuk diakui sebagai bangsa, kini mereka berjuang untuk didengar sebagai generasi. 

Dari Dili yang sederhana, mereka mengirim pesan ke dunia: masa depan bisa dibangun tanpa darah, tanpa senjata, melainkan cukup dengan kata, kreativitas, dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran.

Seorang anak muda Dili menutup sesi dengan refleksi yang puitis: “Kita dilahirkan dari rahim budaya yang sama, tetapi sejarah telah memisahkan kita. Kini, kita kembali dipersatukan. Tidak lagi dengan luka, melainkan dengan bahasa dan persaudaraan.”

Kalimat itu seakan merangkum perjalanan panjang Timor Leste dan Indonesia. Meski masa lalu penuh duri, masa depan bisa dijalani dengan tangan yang saling menggenggam, dengan bahasa yang menyatukan, dan dengan layar yang mempertemukan mimpi-mimpi.

Saya menjabat tangan anak muda itu dengan bahagia. Dari jendela PBI, saya bisa lihat pegunungan di Bumi Loro Sae yang indah. Di kejauhan, saya melihat patung Christo Rei, dengan tangan membentang seakan memberi berkat.

Saya teringat kalimat Kristus dalam Matius 5:9: "Berbahagialah orang yang membawa damai.”

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus dari Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.