Budaya
News

Ziarah ke Digul: Prof. Susanto Zuhdi dan Upaya Menghidupkan Sejarah yang Terkubur

Kabut tipis turun di tepian Sungai Digul ketika Prof. Susanto Zuhdi berdiri di depan sisa bangunan penjara kolonial itu. Dindingnya berlumut, pintunya lapuk dimakan waktu.

Guru Besar Sejarah dari Universitas Indonesia (UI) ini menatap lama ke arah jeruji besi yang bengkok, seolah sedang mendengar gema langkah para tahanan politik di masa lalu, nama-nama besar yang dulu tinggal di sini: Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mas Marco Kartodikromo, dan ratusan tokoh yang pernah dibuang karena pikiran mereka dianggap berbahaya.

“Tempat ini menyimpan suara sejarah,” katanya perlahan. “Di sinilah bangsa ini belajar tentang arti kebebasan.”

Prof. Susanto datang bukan sebagai turis, melainkan tim ahli dalam studi kelayakan pemugaran Penjara Boven Digoel, atas permintaan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXII, Kementerian Kebudayaan.

Selama lima hari di Tanah Merah, ia menjadi saksi senyap bagi sejarah yang terpendam di balik semak dan rawa. Ia berjalan menyusuri bekas jalan setapak yang dulu dilalui para tahanan, mengukur jarak antar barak, memotret puing-puing pondasi, dan menandai lokasi dapur umum yang kini ditumbuhi pepohonan.

Kadang ia berhenti lama di satu titik, memandangi tanah lapang yang dulunya lapangan apel bagi para tahanan kolonial. “Setiap meter tanah di sini,” ujarnya kepada tim teknis, “menyimpan kisah tentang manusia dan penderitaannya.”

Dia berbicara dengan warga setempat yang tinggal di sekitar area bekas kamp. Beberapa di antaranya bahkan masih menyimpan cerita turun-temurun tentang “kamp orang buangan” itu, kisah yang diwariskan dari kakek atau nenek mereka yang pernah bekerja untuk Belanda.

Namun di balik semua itu, Prof. Susanto tidak melihat pemugaran semata sebagai urusan teknis arsitektur. Ia memandangnya sebagai ziarah sejarah, perjalanan spiritual seorang sejarawan ke tempat yang menjadi simbol penderitaan sekaligus keteguhan.

“Tugas kami bukan hanya mengembalikan bentuk fisik bangunan,” katanya, “tetapi juga mengembalikan makna yang terkubur di dalamnya.”

Ia menyadari, pemugaran tanpa pemaknaan hanya akan menjadikan Digul sebagai objek wisata muram. Yang diinginkannya adalah rekonsiliasi dengan masa lalu, agar bangsa ini tidak sekadar mengingat penderitaan, tetapi juga menghormati keberanian mereka yang dibuang ke sini.

Karena bagi Susanto, penjara Boven Digoel bukan sekadar situs kolonial, melainkan ruang kontemplasi tentang arti kebebasan dan pengorbanan.

Menghidupkan Kembali Pulau yang Terlupakan

Bagi Prof. Susanto Zuhdi, Boven Digoel bukan sekadar lokasi pembuangan politik, melainkan sebuah “pulau sejarah yang terlupakan”, gugusan pengetahuan yang nyaris hilang dari narasi besar Indonesia. 

Dalam pandangannya, Digul adalah ruang di mana sejarah bangsa tidak ditulis oleh pemenang, melainkan oleh orang-orang buangan, mereka yang diasingkan karena gagasan dan keberaniannya melawan ketidakadilan.

Pemikiran itu terlihat jelas dalam esainya “Kadiroen Kromodiwirjo: Sosok Digulis, Sejarah Keluarga & Pergerakan Kebangsaan.”

Dalam tulisan tersebut, Prof. Susanto mengulas dengan penuh empati memoar Berjalan Sampai ke Batas karya Kadiroen Kromodiwirjo, seorang Digulis yang menulis kisah hidupnya dari masa bekerja sebagai pegawai kereta api di jalur Semarang–Cirebon, hingga pembuangan panjangnya di Boven Digoel (1928–1942) dan Australia (1942–1946)

Ia mengapresiasi karya itu sebagai bentuk sejarah dari bawah, a history from below, karena ditulis oleh “orang biasa” yang tidak mengejar pengakuan akademik.

Lebih jauh, Prof. Susanto menegaskan bahwa kisah Kadiroen tidak hanya merekam pengalaman pribadi, tetapi juga menjadi pintu masuk untuk memahami sejarah Papua, sebuah wilayah yang selama ini terabaikan dalam penulisan sejarah Indonesia. 

Ia menulis, “Pulau sejarah yang terlupakan bukan hanya metafora, tetapi juga kenyataan geografis: Papua selama ini dianggap jauh, diukur dari pusat kekuasaan di Jawa.”

Dengan menelusuri kembali kisah seorang Digulis, Susanto seolah sedang menarik benang merah antara sejarah keluarga, pergerakan kebangsaan, dan keindonesiaan yang lahir dari pinggiran.

Dalam pandangan Prof. Susanto, Digul adalah laboratorium moral bagi bangsa. Tempat di mana kesetiaan, keteguhan, dan kemanusiaan diuji hingga batas terakhir. Maka tak heran bila dalam setiap tulisannya, ia tak hanya bicara tentang arsip, tetapi tentang hati nurani sejarah, tentang manusia yang berjuang agar tidak dilupakan.

Di Antara Nyamuk dan Idealisme

Ia menggambarkan Boven Digoel bukan hanya sebagai penjara, tapi juga laboratorium kemanusiaan. Tempat orang-orang yang kalah di mata kolonial, namun menang dalam mempertahankan martabatnya. 


>> Baca Selanjutnya