Budaya

Bulukumba, Rumah Perahu Pinisi yang Mendunia

UNHAS.TV – Di sebuah galangan kapal tradisional di Kabupaten Bulukumba, suara kapak, gergaji, dan palu terdengar berpadu dengan hembusan angin laut.

Di sanalah Yusliadi, seorang mandor yang telah tujuh tahun terakhir memimpin pembuatan kapal pinisi, bekerja bersama puluhan pengrajin.

Dari tangan-tangan mereka, tukang kayu ahli pinisi, lahirlah kapal-kapal megah yang berlayar hingga ke Australia, Italia, bahkan Amerika.

“Yang paling sulit itu bodinya, terutama bagian luar. Bahan kayunya harus kuat, biasanya pakai kayu besi,” ujar Yusliadi, seraya menepuk papan kayu yang sedang dipahat.

Kayu memang menjadi ruh utama pembuatan pinisi. Jenis yang digunakan beragam: kayu besi atau ulin, kayu jati, hingga kayu bitti.

Meski telah menggunakan baut, skrup, dan bor listrik, proses utamanya masih setia pada teknik tradisional. Misalnya, untuk membengkokkan kayu untuk bodi kapal, para pengrajin membakarnya dengan api.

Peralatan sehari-hari pun masih sederhana, mulai gergaji, kapak, cangkul kecil, dan palu. Dari kesederhanaan tersebut justru menyimpan kearifan.

Pinisi Bulukumba dibangun tanpa rancangan detail atau sketsa modern. Semua berdasarkan pengalaman turun-temurun yang diwariskan para leluhur.

Ritual dan Makna di Balik Papan Kayu

Proses pembuatan pinisi tidak sekadar teknis, melainkan sarat simbol dan ritual. Dari penebangan hingga pengeringan kayu, setiap tahap memiliki aturan tak tertulis.

"Pada peletakan lunas atau tulang utama, misalnya, ada prosesi khusus. Posisi lunas harus diarahkan ke timur laut," kata Yusliadi.


Yusliadi, Tukang kayu pembuat perahu Pinisi. (dok unhas.tv/am syafrizal)


Bagian depan melambangkan laki-laki, sementara bagian belakang melambangkan perempuan. Sebuah harmoni kehidupan yang dipercayai akan menjaga kapal tetap seimbang di lautan.

Ritual lain adalah annyorong lopi, yakni prosesi mendorong saat dilakukan peluncuran kapal secara beramai-ramai.

Ratusan orang terlibat secara gotong royong menarik kapal ke laut menggunakan katron, sejenis rantai besi yang mampu menggerakkan kayu seberat 20 ton.

Doa-doa dipanjatkan, seserahan disiapkan, menandakan penghormatan terhadap tradisi leluhur.

“Kalau sudah ada pemotongan kayu, ada ritualnya juga. Itu harus dilakukan supaya pekerjaan lancar,” tambah Yusliadi.

Simbol Ketekunan dan Identitas Bangsa

Perahu Pinisi buatan Bulukumba telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda sejak tahun 2017.

Keistimewaannya bukan hanya terletak pada ketangguhan kapal, tetapi juga nilai yang dikandung: ketekunan, gotong royong, serta identitas bangsa maritim Indonesia.

Dari Bulukumba, kapal-kapal ini berlayar menembus batas laut dan waktu. Pinisi bukan sekadar perahu, melainkan simbol kebanggaan Nusantara.

Dengan teknik sederhana namun penuh makna budaya, para pengrajin berhasil menghadirkan pinisi sebagai karya agung maritim yang mendunia. 

“Kalau kapal sudah melaut, rasanya seperti anak sendiri yang dilepas. Ada doa, ada harapan, semoga selamat sampai tujuan,” kata Yusliadi, matanya berbinar.

Keberadaan industri pembuatan pinisi di Bulukumba tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga menopang perekonomian lokal.

Ratusan keluarga menggantungkan hidup dari aktivitas galangan tradisional ini. Harga satu kapal pinisi bisa mencapai miliaran rupiah, bergantung pada ukuran dan tingkat kemewahan interiornya.

Selain itu, kawasan Tana Beru di Kabupaten Bulukumba, merupakan pusat galangan kapal pinisi yang kini menjadi destinasi wisata budaya.

Wisatawan mancanegara datang untuk menyaksikan langsung proses pembuatan kapal, yang berlangsung di pinggir pantai.

Pemerintah daerah pun menjadikan pinisi sebagai ikon pariwisata Bulukumba, yang kemudian dikenal dengan sebutan Butta Panrita Lopi --Tanah Para Ahli Perahu.

Pinisi adalah bukti bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan. Dari desa-desa di Bulukumba, ia berlayar membawa cerita tentang ketekunan manusia, kekayaan budaya, dan kebesaran maritim Indonesia yang tak lekang oleh zaman.

(Andi Muhammad Syafrizal | Unhas.TV)