Unhas Health

ASI, 'Cairan Emas' Penyelamat Generasi, Mengurai Mitos dan Fakta Menyusui




Dokter Spesialis Anak Subspesialis Neonatologi Prof dr Andi Dwi Bahagia Febriani PhD SpA Subsp Neo(K). (dok unhas.tv)


Ketika bayi tidak memperoleh ASI eksklusif, risiko jangka panjangnya nyata. Infeksi berat di awal kehidupan dapat memengaruhi perkembangan otak, paru-paru, hingga saluran cerna.

“Anak mungkin tumbuh dengan kemampuan kognitif yang lebih rendah dibanding mereka yang mendapat ASI cukup,” ujar Prof. Andi.

ASI juga berperan membentuk mikrobiota usus yang sehat. “Dari usus ibu, bakteri baik bisa ‘berjalan’ ke kelenjar payudara, masuk ke ASI, lalu ke usus bayi. Mekanisme alami ini sulit ditiru oleh susu formula,” tambahnya.

Produksi ASI tidak hanya bergantung pada fisik, tapi juga psikologis. Stres, kelelahan, atau trauma persalinan bisa menghambat keluarnya ASI. Hormon stres seperti kortisol menekan hormon prolaktin dan oksitosin, membuat ASI sulit keluar.

Karena itu, peran keluarga sangat penting. “Suami, orang tua, dan mertua harus jadi lingkar dukungan. Ibu menyusui harus bahagia,” kata Prof. Andi.

Durasi Ideal Menyusui

WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama, dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI hingga usia dua tahun. Namun, banyak ibu berhenti lebih cepat karena alasan pekerjaan atau kurangnya fasilitas.

“Kalau tempat kerja menyediakan ruang laktasi yang layak, ibu bisa memompa ASI setiap 2,5–3 jam, menyimpannya di kulkas, dan tetap menyusui langsung saat di rumah,” saran Prof. Andi.

Sayangnya, angka pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah, hanya sekitar 20–30% menurut data lama yang diingat Prof. Andi.

Angka ini jauh dari ideal, mengingat WHO menyebut ASI eksklusif berpotensi menyelamatkan 820 ribu nyawa anak setiap tahun di seluruh dunia.

Di Sulawesi Selatan, edukasi gencar dilakukan, termasuk melalui rumah sakit dan posyandu. “Kami di RS Unhas dan RS Wahidin selalu mendorong edukasi sejak kehamilan trimester ketiga, agar ibu siap melakukan inisiasi menyusu dini satu jam setelah bayi lahir,” ujar dokter di Rumah Sakit Unhas dan RS Wahidin Sudirohusodo ini.

Edukasi menyusui harus menjangkau semua lapisan, termasuk desa-desa yang minim akses informasi digital. Di sana, bidan desa dan kader posyandu menjadi garda depan.

“Media sosial penting, tapi penyuluhan langsung tetap diperlukan,” kata Prof. Andi.

Nutrisi Ibu Menyusui

Makanan bergizi seimbang adalah kunci. Tidak harus mahal — yang penting lengkap: karbohidrat, protein hewani dan nabati, lemak sehat, sayur, buah, dan cukup cairan.

“Di Sulsel, beras adalah sumber karbohidrat utama, tapi di daerah lain sagu pun sangat baik. Protein dari ikan, ayam, telur, daging — semua bagus asal tidak ada alergi,” jelasnya.

Prof. Andi berharap kebijakan cuti menyusui enam bulan bisa diterapkan luas agar ibu dapat fokus pada pemberian ASI eksklusif. Jika tidak memungkinkan, tempat kerja setidaknya menyediakan fasilitas laktasi yang aman dan nyaman.

“ASI adalah investasi kesehatan yang nilainya tak ternilai. Menyusui bukan hanya tugas ibu, tapi tanggung jawab bersama untuk memastikan generasi masa depan tumbuh sehat, cerdas, dan kuat,” pungkasnya. (*)