UNHAS.TV – Penyakit jantung bawaan masih menjadi salah satu tantangan serius di dunia kesehatan anak. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, sekitar 8 dari 1000 bayi lahir dengan kelainan jantung bawaan, dan hanya sekitar 2500–3500 kasus yang tertangani secara optimal setiap tahunnya di seluruh Indonesia.
Hal ini diungkapkan oleh dr. Andi Alief Utama Armyn, Sp.JP(K), Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Konsultan Pediatrik, dalam program Unhas Sehat di studio Unhas TV.
“Penyakit jantung bawaan adalah kelainan jantung yang sudah terjadi sejak bayi masih dalam kandungan. Faktor risikonya bisa berasal dari paparan obat-obatan, rokok, atau infeksi selama kehamilan,” jelas Dr. Alif.
Ia menambahkan bahwa deteksi dini dapat dilakukan melalui pemeriksaan echocardiografi atau USG jantung. Namun, terbatasnya fasilitas dan pemerataan layanan menjadi tantangan besar. Banyak kasus yang baru terdeteksi ketika anak mengalami sesak napas, berat badan sulit naik, hingga infeksi paru berulang.
Kelainan jantung bawaan terbagi dua jenis, yakni tipe "biru" yang tampak jelas dengan kuku dan bibir membiru, serta tipe "sederhana" yang gejalanya ringan dan sering tidak disadari sejak dini.
“Penanganannya kini sudah berkembang. Kalau dulu hampir semua kasus harus dioperasi terbuka, sekarang sudah ada teknologi penutupan lubang jantung melalui pembuluh darah tanpa operasi,” ungkapnya. Prosedur ini hanya memerlukan waktu sekitar 1 jam dan perawatan pasca-tindakan yang singkat.
Ia juga berbagi pengalaman menangani bayi dengan jantung bawaan sejak dalam kandungan. “Bahkan ibunya juga memiliki kelainan jantung. Kami atur strategi sejak kehamilan, hingga akhirnya bayi lahir dengan aman dan tindakan jantung dapat langsung dilakukan dalam dua hari,” tuturnya.
Program screening secara menyeluruh pada semua bayi baru lahir memang belum bisa dijalankan di Indonesia karena keterbatasan sumber daya. Namun, Dr. Alif menekankan pentingnya edukasi bagi orang tua untuk mengenali tanda-tanda dini seperti menyusu terputus, sesak nafas, dan kuku membiru.
“Semakin cepat diketahui, semakin besar harapan hidupnya. Bahkan bukan hanya sampai usia 35, banyak juga pasien dengan jantung bawaan yang bisa hidup sehat hingga usia 60 tahun,” tegasnya.
Di akhir sesi, Dr. Alif menghimbau agar orang tua tidak ragu untuk melakukan skrining dan berkonsultasi ke dokter jika menemukan tanda-tanda gangguan jantung pada anak.
“Dokter tidak akan melakukan tindakan apapun tanpa persetujuan. Kita hanya ingin memberikan opsi terbaik bagi masa depan anak-anak kita,” pungkasnya.
Program Unhas Sehat kali ini menjadi pengingat penting bahwa perhatian terhadap kesehatan anak, khususnya jantung bawaan, harus dimulai dari edukasi dan kesadaran sejak dini.
(Venny Septiani Semuel / Unhas.TV)