UNHAS.TV - “Lebih dari 57 persen penduduk Indonesia mengalami masalah gigi dan mulut, tapi hanya sekitar 10 persen yang datang berobat ke dokter.”
Pernyataan itu diungkapkan dokter spesialis bedah mulut dan maksilofasial FKG Unhas drg. Muhammad Ghazali, MARS, SpBMM., SubSp TMTMJ (K), ketika menjadi tamu dalam program Unhas Sehat di Unhas.TV, awal September lalu.
Angka itu, menurutnya, bukan sekadar statistik dari Riset Kesehatan Dasar 2018, melainkan potret telanjang rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mulut. Padahal mulut gerbang utama kesehatan tubuh.
“Kebanyakan orang baru datang ke dokter saat giginya sakit atau bengkak. Padahal, gigi itu pintu infeksi ke seluruh tubuh,” kata dokter Ghazali memaparkan fakta di balik kebiasaan orang Indonesia.
Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Nasional yang diperingati setiap 12 September 2025 seakan menjadi pengingat kolektif.
Bahwa urusan gigi bukan sekadar senyum indah untuk swafoto atau estetika saat berbicara di depan umum. Ada nyawa yang dipertaruhkan di balik satu lubang kecil di gigi.
Gigi, Sumber Infeksi yang Tak Terduga
Ghazali memberi contoh yang membuat banyak penonton tercekat. Seorang pasien berusia 60 tahun datang ke Rumah Sakit Unhas dengan wajah bengkak akibat infeksi gigi.
Ia juga menderita diabetes dan hipertensi. Infeksi dari gigi yang membusuk itu merambat, mengancam organ vital. “Kami tidak bisa langsung menanganinya seperti pasien normal karena penyakit penyertanya. Kondisinya rumit, bahkan bisa mengancam nyawa,” ujarnya.
Cerita itu bukan satu atau dua kasus. Hampir setiap tahun, ada saja pasien meninggal gara-gara abai dengan kesehatan gigi.
Sebuah paradoks yang kerap tak disadari: orang menganggap tak ada yang mati karena sakit gigi, padahal rumah sakit mencatat sebaliknya.
Secara medis, jelas Ghazali, gigi berlubang atau gusi yang terinfeksi menjadi sarang kuman. Dari sana, bakteri ikut mengalir lewat darah, lalu “menempel” di organ tubuh lain yakni katup jantung, ginjal, bahkan sinus.
“Karena itu setiap pasien yang akan menjalani operasi jantung wajib memastikan giginya bebas infeksi,” katanya. “Itu harga mati.”
Estetika yang Menipu
Tak hanya itu, di masyarakat, gigi masih dipandang sebatas penunjang penampilan. Banyak orang rela mengeluarkan puluhan juta rupiah untuk veneer, kawat gigi, atau perawatan pemutihan.
Namun ketika gigi berlubang sekadar perlu ditambal, mereka menunda. Alasannya klasik: biaya mahal, rasa takut, atau sekadar malas.
Ghazali membantah anggapan itu. “Yang mahal justru perawatan estetika. Kalau tambal gigi atau cabut, bahkan bikin gigi palsu, biayanya jauh lebih murah. Apalagi banyak yang ditanggung BPJS,” katanya.
Menurutnya, masalahnya terletak pada perilaku. Orang lebih suka menunggu sakit daripada rutin memeriksakan gigi.
Ia lalu memberi analogi sederhana. “Kalau piring habis dipakai, kita pasti cuci. Begitu juga gigi. Setelah dipakai mengunyah, sebaiknya dibersihkan,” ujarnya.
Idealnya, setiap selesai makan orang menyikat gigi. Tapi karena repot, minimal dilakukan dua kali: pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. “Kalau tidak bisa sikat, berkumur air putih pun sudah cukup menolong.”
Antara Gigi, Gizi, dan Stunting
>> Baca Selanjutnya