 a.webp)
Dokter Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial FKG Unhas drg. Muhammad Ghazali, MARS, SpBMM., SubSp TMTMJ (K), (dok unhas.tv)
Ada hubungan tak kasat mata antara gigi yang sehat dengan gizi anak. Ghazali mencontohkan, seorang anak kecil enggan makan bukan karena tak lapar, melainkan karena sakit gigi. “Anak tidak bisa bilang ‘sakit gigiku’, dia cuma menolak makan. Itu memengaruhi nutrisinya,” katanya.
Begitu pula ibu hamil. Jika kesehatan giginya buruk, asupan makanan terganggu. Proses penyerapan nutrisi pada janin bisa terhambat, yang pada akhirnya berisiko pada stunting.
“Pintu masuk nutrisi itu mulut. Kalau pintunya bermasalah, bagaimana gizinya mau baik?” ujar Ghazali.
Ia menilai program makan bergizi gratis pemerintah sebaiknya diikuti dengan evaluasi kesehatan gigi. “Kalau makanannya bagus tapi pintunya rusak, sama saja bohong,” ujarnya sambil tersenyum tipis.
Banyak orang mengira dokter gigi hanya mengurus 32 gigi. Padahal, fakultas kedokteran gigi berdiri karena kompleksitas masalah mulut jauh lebih luas: gusi, lidah, rahang, kelenjar ludah, hingga sendi temporomandibular. “Semua itu bisa jadi sumber penyakit,” ujar Ghazali.
Gusi yang berdarah, misalnya, bisa menjadi pintu masuk bakteri. Infeksi pada rahang dapat menjalar ke leher bahkan otak.
Namun kebanyakan orang hanya fokus pada gigi berlubang. Padahal, satu sistem mulut bekerja serempak, dan rusaknya satu bagian bisa berantai pada bagian lain.
Tradisi Lama, Risiko Baru
Dalam perbincangan di studio Unhas.TV, ketika dikonfirmasi akan kebiasaan orang zaman dulu membersihkan gigi dengan arang, Ghazali menggeleng.
“Secara medis tidak baik, karena bisa menyebabkan abrasi,” katanya. Bahkan sikat gigi dengan cara yang salah pun dapat mengikis email gigi.
Cara menyikat gigi pun tidak bisa asal gosok gigi. Ada tekniknya, sikat dengan arah memutar, menyusuri alur gigi, bukan menggosok keras. Jika salah, gigi bisa linu dan semakin cepat rusak.
Di balik rendahnya angka kunjungan ke dokter gigi, ada faktor biaya dan akses. Namun Ghazali menegaskan, akar masalah justru pada perilaku. “Mencegah itu murah. Mengobati yang mahal,” katanya.
Banyak pasien datang setelah menahan sakit berhari-hari. Bengkak di wajah baru dianggap serius ketika sudah menghalangi makan dan bicara.
“Begitu datang ke puskesmas, prosesnya panjang. Harus rujukan berlapis sampai ke rumah sakit besar. Sementara infeksi sudah menyebar,” ujarnya.
Tak jarang, pasien datang dalam kondisi tubuh sudah kalah melawan kuman. “Itu lingkaran setan yang sebenarnya bisa dihindari kalau sejak awal rutin merawat gigi,” katanya.
Momentum Kesadaran
Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Nasional tahun ini mengusung pesan sederhana tapi mendesak: merawat gigi bukan pilihan, melainkan kebutuhan dasar. Senyum sehat bukan hanya soal percaya diri, tapi juga investasi umur panjang.
Di akhir acara, Ghazali menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Kampanye sikat gigi di sekolah harus dibarengi dengan penyediaan layanan kesehatan gigi yang mudah diakses.
Program gizi harus menyertakan pemeriksaan mulut. Dan masyarakat perlu memahami, “Tidak ada organ tubuh lain yang jadi swalayan kuman sebesar mulut,” ujarnya.
Bagi Ghazali, momentum ini bukan sekadar peringatan tahunan. Ia ingin masyarakat memahami filosofi sederhana: merawat gigi sama dengan merawat hidup.
“Senyum indah itu bonus. Yang utama, gigi sehat membuat kita bisa makan dengan baik, tidur nyenyak, dan hidup lebih lama,” katanya.
Pesan itu sederhana, tapi barangkali menjadi alarm bagi jutaan orang Indonesia yang masih menunda-nunda ke dokter gigi. Karena di balik satu gigi berlubang, bisa saja tersimpan risiko penyakit yang jauh lebih mematikan. (*)