Kesehatan
News
Tahukah Kamu?

Recharge Diri di Bumi: Telanjang Kaki dan Dekat dengan Pohon Jadi Sumber Energi Tubuh

Forest bathing dengan menyentuh pohon merupakan salah satu alternatif meningkatkan energi tubuh. (dok unhas.tv)

UNHAS.TV - Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, ada cara sederhana untuk mengisi ulang energi tubuh—bukan dengan kopi, vitamin, atau spa mahal.

Cukup lepas alas kaki, pijakkan kaki di tanah, atau peluk batang pohon. Dalam hitungan menit, tubuh bisa terasa lebih tenang, kepala lebih jernih, dan napas terasa lebih panjang.

Fenomena ini dikenal sebagai grounding—atau dalam istilah ilmiahnya, earthing—cara kuno namun kini kembali populer untuk menyambungkan diri dengan energi bumi.

Ketika kulit manusia bersentuhan langsung dengan tanah, rumput, atau pasir, terjadi sesuatu yang menarik, tubuh kita menyerap elektron bebas dari bumi.

Elektron-elektron ini, menurut para peneliti, berperan seperti antioksidan alami yang membantu menetralkan radikal bebas dalam tubuh—molekul tidak stabil yang sering disebut sebagai biang kerok penuaan dini dan berbagai penyakit kronis.

“Bumi sebenarnya memiliki medan listrik alami yang stabil. Saat kita terhubung langsung dengannya, tubuh melakukan proses penyeimbangan potensial listrik,” jelas Dr. James Oschman, seorang ahli biofisika asal Amerika Serikat yang telah meneliti grounding selama lebih dari dua dekade.

Ia menyebut, kontak langsung dengan bumi berpotensi menurunkan stres oksidatif, memperbaiki kualitas tidur, dan menstabilkan ritme sirkadian tubuh.

Konsep grounding mulai populer di Amerika Serikat pada akhir 1990-an, ketika seorang teknisi kabel bernama Clint Ober menemukan hubungan antara kesehatan manusia dan sistem konduktivitas bumi.

Ober, yang terbiasa mengukur kestabilan arus listrik pada gedung dan antena, menyadari bahwa tubuh manusia juga merupakan sistem listrik yang bisa “terputus” dari bumi karena kebiasaan modern: memakai sepatu beralaskan karet atau sandal sintetis yang bersifat isolator.

“Colok Ulang” Tubuh pada Bumi

Kebiasaan manusia modern membuat tubuh semakin jarang bersentuhan dengan alam. Kita hidup di lantai berkeramik, berjalan di aspal, dan tidur di kasur busa sintetis—semuanya memutus koneksi listrik alami antara tubuh dan bumi.

Melalui grounding, manusia seperti “menancapkan kabel” kembali ke sumber aslinya.

Beberapa riset awal yang diterbitkan dalam Journal of Environmental and Public Health (2012) menunjukkan bahwa grounding dapat menurunkan kadar kortisol—hormon stres—dalam darah, serta memperbaiki pola tidur setelah dilakukan selama beberapa minggu.

Studi kecil lain menemukan bahwa pasien yang melakukan grounding secara rutin mengalami penurunan rasa nyeri kronis dan perbaikan pada sistem kekebalan tubuh.

Walau banyak penelitian masih bersifat awal dan membutuhkan verifikasi lebih lanjut, efek menenangkan dari grounding hampir dirasakan oleh siapa pun yang mencobanya.

Sensasi sejuk tanah di telapak kaki, aroma rumput basah, hingga suara angin yang menyapu daun—semuanya menimbulkan efek psikologis yang kuat.

Dari Amerika ke Jepang: Forest Bathing

Di belahan dunia lain, Jepang memperkenalkan konsep serupa namun dengan pendekatan berbeda: shinrin-yoku atau forest bathing, yang berarti “berendam di suasana hutan.”

Bukan mandi dengan air, tapi menyelam dalam keheningan pepohonan. Menghirup aroma daun pinus, mendengar gemerisik ranting, dan membiarkan indra bekerja tanpa intervensi teknologi.

Kementerian Kehutanan Jepang memperkenalkan konsep ini pada 1980-an untuk menekan tingkat stres masyarakat urban. Sejak itu, forest bathing berkembang menjadi terapi nasional yang bahkan diakui dalam kebijakan kesehatan publik Jepang.

Penelitian oleh Dr. Qing Li dari Nippon Medical School Tokyo menunjukkan bahwa forest bathing menurunkan kadar hormon stres hingga 15 persen dan meningkatkan sel-sel pembunuh alami (NK cells) dalam sistem kekebalan tubuh. Efek ini bisa bertahan hingga seminggu setelah seseorang meninggalkan hutan.

“Ketika kita berjalan di hutan, bukan hanya paru-paru yang bernapas. Seluruh tubuh ikut bernapas,” kata Qing Li dalam bukunya Forest Bathing: How Trees Can Help You Find Health and Happiness (2018).

“Aroma dedaunan mengandung fitonsida—senyawa alami yang dikeluarkan pohon—yang memiliki efek menenangkan pada sistem saraf.”

Dua Jalur, Satu Tujuan

Grounding dan forest bathing sejatinya berjalan di dua jalur berbeda, namun menuju tujuan yang sama: menyeimbangkan kembali tubuh dan pikiran lewat alam.

Grounding menghubungkan tubuh secara fisik dengan bumi—melalui kaki yang menyentuh tanah, atau tangan yang meraba batang pohon.

Sementara forest bathing menghubungkan batin dengan alam, melalui keterlibatan pancaindra. Satu lewat kaki, satu lewat hati.

Keduanya mengajarkan hal yang sama: manusia adalah bagian dari bumi, bukan penguasa di atasnya. Dan ketika koneksi itu terputus, tubuh bereaksi—stres meningkat, tidur terganggu, dan rasa damai menjauh.

Menyentuh Pohon, Menyentuh Diri Sendiri

Di banyak kota besar dunia, mulai bermunculan taman khusus untuk earthing dan forest therapy. Di Seoul, Korea Selatan, terdapat “Healing Forests” yang menjadi destinasi wisata kesehatan.

Di California, komunitas Earthing Movement mengadakan sesi mingguan berjalan tanpa alas kaki di pantai atau taman kota.

Bahkan di Indonesia, praktik serupa mulai dilakukan di beberapa daerah. Di Bali, komunitas back to earth mengadakan sesi grounding sunrise di Pantai Sanur—aktivitas meditasi sambil menjejakkan kaki di pasir hangat saat matahari terbit.

Ketika seorang peserta diminta menggambarkan sensasinya, ia menjawab pelan, “Rasanya seperti diisi ulang.”

Bumi, pada dasarnya, adalah konduktor raksasa yang senantiasa stabil. Ia menyimpan jutaan elektron bebas yang bisa menetralkan energi berlebih pada tubuh manusia.

Saat kita terlalu lama terputus—baik karena kesibukan, polusi, atau gawai yang terus menyala—kita lupa bahwa alam punya sistem penyembuhan paling tua dan paling murah: keheningan, tanah, dan udara segar.

Grounding bukan sekadar tren gaya hidup, tetapi sebuah pengingat bahwa kadang, cara terbaik untuk menyehatkan diri bukan dengan menambah sesuatu—melainkan dengan melepas.

Lepas sepatu. Lepas beban. Dan biarkan bumi bekerja sebagaimana mestinya: menyeimbangkan kembali manusia yang lupa daratan. (*)