UNHAS.TV - Generasi Z kerap disebut sebagai generasi emas dengan keunggulan literasi digital yang tinggi. Namun, di sisi lain mereka juga rentan menghadapi masalah kesehatan mental akibat tekanan lingkungan, arus teknologi, hingga ketidakpastian masa depan.
Hal ini terungkap dalam program siniar Unhas Sehat bertajuk "Generasi Emas atau Cemas? NPD, Burnout, dan Gangguan Mental Gen Z” bersama dokter spesialis Kedokteran Jiwa atau Psikiatri dr Andi Suheyra Syauki MKes SpKJ SubspBP-(K).
Menurut dr Suheyra, Gen Z yang lahir sekitar tahun 1997 ke atas tumbuh dalam era internet yang sudah berkembang pesat. Kondisi ini membuat mereka lebih terbuka dengan informasi, namun juga rawan terpapar dampak negatif.
“Gen Z ini lahir ketika internet sudah hadir. Mereka memang diuntungkan karena lebih mudah mencari informasi, tetapi di sisi lain belum bisa memfilter mana yang baik dan mana yang buruk. Itu sebabnya kesehatan mental mereka lebih rentan terdampak,” jelasnya.
Salah satu fenomena yang banyak dialami Gen Z adalah burnout, kondisi yang berawal dari stres kronis yang tidak tertangani dengan baik. Burnout menyebabkan kelelahan emosional, kehilangan motivasi, hingga menurunnya produktivitas.
“Stres yang berkepanjangan bisa menurun menjadi burnout. Ini cukup banyak dialami Gen Z, apalagi setelah melewati masa pandemi COVID-19 yang menimbulkan tekanan psikologis besar,” tambah Konsultan Psikiatri Biologi dan Psikofarmakologi ini.
Selain burnout, Gen Z juga rentan terhadap Narcissistic Personality Disorder (NPD) atau gangguan kepribadian narsistik. Kondisi ini biasanya ditandai dengan rasa superior, manipulatif, serta kurangnya empati terhadap orang lain.
“Orang dengan NPD biasanya tidak sadar dirinya mengalami gangguan. Justru orang lain yang lebih dulu menyadarinya. Tidak ada pasien yang datang bilang ‘saya NPD’, biasanya mereka datang dengan masalah lain,” terang dr. Suheyra.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa penyebab masalah mental pada Gen Z bersifat multifaktorial, mulai dari pola asuh orang tua, tekanan sosial, hingga faktor ekonomi.
“Orang tua harus memiliki keterampilan mendengarkan anak. Jangan hanya memberi tekanan atau tuntutan. Fenomena kesepian massal pada Gen Z salah satunya karena mereka merasa kurang didengar,” ungkap pengajar di Program Studi Spesialis Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unhas.
Fenomena quarter life crisis juga menjadi tantangan tersendiri bagi generasi ini. Ketidakpastian ekonomi, sulit memiliki rumah, pekerjaan yang belum stabil, hingga paparan konflik sosial-politik di media sosial membuat tekanan psikologis semakin besar.
“Gen Z ini mudah sekali melihat perbandingan dengan orang lain di internet. Itu bisa memicu stres bahkan depresi jika tidak dikelola dengan baik,” kata dr. Suheyra.
Ia pun mengingatkan agar Gen Z tidak terjebak dalam self-diagnosis yang marak dilakukan lewat internet.
“Jangan sampai mereka hanya membaca artikel lalu menyimpulkan sendiri tanpa konsultasi. Lebih baik mencari bantuan profesional agar mendapat penanganan yang tepat,” tegasnya.
Di akhir, dr. Suheyra menekankan pentingnya membedakan antara sekadar stres biasa dengan burnout yang membutuhkan perhatian lebih serius.
Dengan pemahaman yang tepat, Gen Z diharapkan bisa tetap menjadi generasi emas, bukan generasi yang cemas.
(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)