MAKASSAR, UNHAS.TV - Di balik senyum anak-anak yang memasuki gerbang sekolah di hari pertama, ada kehadiran baru yang mulai terasa yakni keberadaan sosok ayah.
Mulai 14 Juli 2025, pemerintah menggagas Gerakan Nasional “Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah” sebagai upaya nyata melibatkan peran ayah dalam pengasuhan sejak dini.
Kebijakan ini dituangkan melalui Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2025 dari Kementerian PPN/Bappenas dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Target utamanya adalah para Aparatur Sipil Negara (ASN) laki-laki, agar hadir secara emosional—bukan hanya administratif—dalam pertumbuhan anak mereka.
Gerakan ini bukan tanpa alasan. Data BKKBN dan UNICEF menunjukkan bahwa lebih dari 1 dari 5 anak di Indonesia mengalami “fatherless”, yakni tumbuh tanpa kehadiran atau keterlibatan aktif seorang ayah.
“Saat ini ada gerakan ayah mengantar anak ke sekolah, itu sangat bagus karena jadi titik awal membangun kedekatan. Ini bisa mematahkan stigma bahwa hanya ibu yang mengasuh, padahal idealnya keduanya terlibat,” jelas Andi Juwita Amal, SPsi MPsi, seorang psikolog keluarga.
Ayah dan ibu, menurut Juwita, punya cara berbeda dalam mengelola emosi—dan anak butuh keduanya untuk belajar. Bukan hanya soal kehadiran fisik, tapi juga keterlibatan emosional yang menyeluruh.
Lebih jauh, Juwita Amal mengatakan dalam jangka panjang, absennya peran ayah bahkan dapat memicu konsekuensi serius.
Dosen Psikologi Universitas Hasanuddin ini menyoroti korelasi antara kenakalan remaja dan minimnya figur ayah dalam proses tumbuh kembang anak.
“Saya pernah mewawancarai anak-anak di Lapas Anak. Mereka pelaku kejahatan, tapi dalam cerita hidupnya, tidak ada peran ayah. Anak laki-laki mencari figur laki-laki dari ayah, anak perempuan pun demikian. Itu yang membuat peran ayah sangat krusial,” ungkap Juwita.
Gerakan ini hadir bukan untuk menggantikan peran ibu, tapi mengajak ayah mengambil porsi yang setara dalam membentuk mental dan karakter anak. Sesederhana mengantar anak di hari pertama sekolah, bisa menjadi bekal psikologis yang mereka bawa hingga dewasa.
(Andi Putri Najwah / Unhas.TV)