Lingkungan
Program

Awaluddin, Penjaga Penyu Laut dan Terumbu Karang di Liukang Tupabbiring

UNHAS.TV - Di balik terumbu karang yang kembali merekah dan penyu laut yang kembali bertelur di Pulau Cangke, Kabupaten Pangkep, ada seorang aktivis lingkungan terus menyuarakan konservasi. Ia percaya, laut bukan sekadar ruang tangkap, tapi ruang hidup yang mesti dijaga.

Sosok penjaga penyu di wilayah pesisir perairan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan itu adalah Awaluddin, aktivis lingkungan yang sudah malang melintang dalam isu kelautan.

Di kalangan pegiat konservasi, namanya kerap disandingkan dengan kerja-kerja akar rumput yang tak banyak gembar-gembor, tapi berdampak nyata. 

Sejak 2021, Awaluddin memimpin Yayasan Romang Celebes (YRC) Indonesia, organisasi yang fokus pada perlindungan wilayah pesisir dan laut di Sulsel.

“Laut dan pulau-pulau kita itu kaya, tapi sayangnya masyarakatnya justru hidup dalam kekurangan,” ujar Awaluddin membuka obrolan di studio Unhas.TV dalam program siniar Unhas Green.

YRC Indonesia baru berdiri empat tahun lalu, tapi kerja-kerjanya cukup intens. Awaluddin dan timnya mendampingi Kawasan Konservasi Perairan Daerah—disebut KKPD—di beberapa lokasi di Sulawesi Selatan.

Lima KKPD kini telah ditetapkan oleh pemerintah, dua di Kabupaten Pangkep, satu di Barru, dan dua di Kepulauan Selayar, dengan total luasan sekitar 800 ribu hektare.

Di Pangkep, perhatian utama Awaluddin tertuju ke Kecamatan Liukang Tupabbiring. Salah satu titik penting konservasi ada di Pulau Cangke, Desa Mattiro Dolang. 

Di pulau kecil ini, Awaluddin menggagas pelestarian spesies penyu. Ia menjelaskan, keberadaan penyu penting untuk menjaga keseimbangan lamun dan terumbu karang. “Penyu itu bukan hanya makhluk purba, tapi penjaga ekosistem,” ujarnya. 

Sayangnya, konservasi laut tidak semulus gelombang pasang. Meski Cangke sudah masuk zona inti konservasi dengan luas 43 hektare, praktik destructive fishing seperti pemboman ikan masih berlangsung.

“Kalau sedang perjalanan ke pulau, kadang kami dengar dentuman bom,” katanya. Suaranya berat, menunjukkan keprihatinan.

Dalam survei dua bulan terakhir, timnya menemukan kondisi biota laut belum rusak total, tapi “juga tak bisa disebut baik-baik saja.”

Ironisnya, para pembom ikan bukan berasal dari masyarakat lokal sekitar zona inti. Di Pulau Pala, misalnya, nelayan lebih memilih menjala rajungan.

Di Pulau Lamputang, komoditas utama adalah cumi-cumi yang ditangkap dengan alat sederhana. “Justru yang rusak itu karena masuknya penangkap dari luar, yang tidak punya ikatan dengan wilayah itu,” ujar Awaluddin.

Untuk melawan itu, YRC Indonesia tak hanya melakukan patroli atau kampanye kesadaran. Mereka juga menyiapkan solusi ekonomi alternatif.

Di Pulau Sapuka, wilayah KKPD Liukang Tangaya, mereka memfasilitasi budidaya tripang dan tambak garam mini sejak 2022. “Garam itu kebutuhan dasar pengolahan ikan, tapi ironisnya harus didatangkan dari daratan,” katanya.

Mulai 2025, fokus mereka kembali ke Liukang Tupabbiring, khususnya kawasan sekitar Pulau Cangke, Pulau Pala, dan Pulau Lamputang.

Di Pulau Cangke, tim YRC Indonesia rutin memantau penyu, memetakan tempat bertelur, dan mengedukasi masyarakat agar tidak mengambil telur atau mengganggu habitatnya.

“Penyu itu dilindungi. Tapi faktanya, telur dan dagingnya masih jadi incaran,” ujar Awaluddin. Ancaman bagi penyu bukan hanya predator alami, tapi juga manusia.

Bagi Awaluddin, pelestarian laut bukan sekadar menjaga biota, tapi menjaga keberlanjutan hidup masyarakat. “Kalau laut rusak, siapa yang rugi duluan? Bukan negara, tapi orang-orang pulau itu,” ujarnya.

Ia sadar, konservasi butuh dukungan banyak pihak. Tapi ia juga percaya, kunci utama ada di masyarakat lokal. “Kalau mereka diajak menjaga dan merasa punya wilayah itu, mereka akan jadi garda terdepan perlindungan,” kata Awaluddin.

Percakapan dalam program siniar Unhas Green itu ditutup dengan harapan. Bukan harapan kosong, tapi yang lahir dari kerja nyata bertahun-tahun di bawah terik matahari, di antara pasir pantai, dan dalam suara bom ikan yang masih menggema di tengah laut. (*)