News
Program
Unhas Speak Up

Bahasa Gaul Cermin Kreativitas Generasi Digital, Bukan Ancaman bagi Bahasa Baku

Prof Dr Asriani Abbas MHum, Pakar Linguistik FIB Unhas. (dok unhas tv)

UNHAS.TV – Di tengah derasnya arus komunikasi digital, berbagai istilah baru seperti healing, vibes, bestie, dan gaskeun dengan cepat menyebar di ruang publik maya.

Bahasa-bahasa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari percakapan anak muda, yang menggunakannya sebagai bentuk ekspresi dan identitas diri.

Fenomena bahasa gaul yang semakin marak di media sosial menjadi perhatian para akademisi. Pakar linguistik Universitas Hasanuddin (Unhas) menilai bahwa tren bahasa gaul merupakan wujud kreativitas berbahasa generasi Z, sekaligus refleksi dari evolusi bahasa yang terjadi secara alami di era digital.

Menurut Profesor Dr. Asriani Abbas, pakar linguistik dan kajian morfologi bahasa Indonesia dari Fakultas Ilmu Budaya Unhas, fenomena ini bukanlah ancaman bagi keberlangsungan bahasa Indonesia baku.

Sebaliknya, bahasa gaul adalah bukti bahwa generasi muda mampu beradaptasi dan berinovasi melalui bahasa.

“Bahasa gaul di era digital ini memang sangat masif digunakan, karena generasi Z adalah pengguna aktif media sosial," ujar Prof. Asriani dalam wawancara bersama Unhas TV, Rabu (29/10/2025).

"Hal itu harus kita hargai sebagai kreativitas berbahasa generasi Z, dan juga bisa menjadi kreativitas lintas generasi,” lanjutnya.

Ia menegaskan bahwa bahasa gaul berjalan di jalurnya sendiri dan tidak menggeser fungsi bahasa baku. Bahasa baku, kata dia, tetap memiliki peran formal dan akademis yang penting dalam pendidikan, pemerintahan, dan komunikasi resmi.

Melalui pembelajaran bahasa Indonesia yang diberikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, literasi bahasa diharapkan mampu memperkuat kemampuan generasi muda menggunakan bahasa secara tepat dan kontekstual.

“Bahasa Indonesia diajarkan mulai dari SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi, karena itu untuk memberikan penguatan kepada generasi yang akan datang bahwa bahasa baku tidak boleh ditinggalkan,” jelasnya.

“Walaupun banyak pengaruh dari bahasa lokal, bahasa asing, dan bahasa gaul, bahasa baku tetap eksis. Tidak boleh kita pesimis terhadap keberadaannya,” lanjutnya.

Prof. Asriani menjelaskan bahwa perkembangan bahasa adalah proses alamiah yang tidak bisa dihindari. Media sosial, menurutnya, hanya mempercepat lahirnya kosakata baru yang menggambarkan dinamika masyarakat modern.

Kekuatan bahasa Indonesia justru terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.

Ia menambahkan, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan budaya, cara berpikir, dan kreativitas masyarakat.

Oleh karena itu, keberagaman bahasa perlu dirayakan selama tetap menjaga ketepatan penggunaannya dalam konteks formal.

“Perkembangan bahasa gaul menunjukkan bahwa komunikasi tidak lagi terbatas pada kaidah, melainkan juga mencerminkan inovasi dan identitas sosial masyarakat modern,” tutup Prof. Asriani.

Fenomena ini menjadi pengingat bahwa di era digital, bahasa terus hidup dan berkembang seiring perubahan zaman — menghubungkan generasi dengan cara mereka sendiri tanpa melupakan akar kebahasaan yang kokoh.

(Rizka Fraja / Unhas TV)